Minggu, 06 April 2008

Pers Nasional Vs Presiden Megawati

A.Muis

Menyambut HPN 09/02-2003 (bagian I)

Kecaman Presiden Megawati terhadap media massa khususnya pers (media cetak) tidak hanya terjadi sekali dua kali. Sebelum peristiwa Selasa, 21 Januari 2003 yang heboh itu, Presiden juga sudah pernah menuding pers nasional "kebablasan", membesar-besarkan (blow up) kejadian dan melakukan pelintiran fakta. Misalnya, ketika Presiden Megawati menerima utusan pengurus-pengurus Ikatan Pemuda NU tanggal 08 Juli 2002 di Istana Negara. Presiden menuding pers nasional sudah "kebablasan". Pihaknya merasa, banyak statementnya yang ditulis atau disampaikan oleh pers kepad a masyarakat tidak seperti apa yang ia ucapkan. Menurutnya, pers begitu gampang memutarbalikkan kejadian. Tetapi pihaknya memilih diam saja dalam menghadapi pers seperti itu, katanya kepada pengurus IPNU. Namun ia minta agar dirinya dihargai. Mestinya, menurut Presiden, ke depan pers bisa menyampaikan apa-apa yang bisa mencerdaskan bangsa. Pihaknya bisa menerima kritik apapaun asal disampaikan dengan santun dan sistematis. Sebagai aktivis, Mega tidak merasa risih kalau dikritik, asal caranya benar.

Dalam suatu kesempatan, tanggal 21 Januari 2003 yang lalu, Presiden Megawati kembali mengecam kinerja pers nasional yang ia nilai "nyomplang" (tidak berimbang), "njlimet "dan "ruwet", tidak adil. Menurut Presiden pers cenderung selalu menyudutkannya. Reaksi keras yang diperolehnya bukan cuma dari kalangan wartawean dan para pengamat pers, tetapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais. Menurut Ketua MPR, kecaman Mega itu mestinya atas nama pribadi saja, bukan dalam kapasitas Kepala Negara atau Presiden. Sebab kalau ia melontarkan kecaman terhadap pers sebagai presiden, maka bisa berakibat kembalinya politik otoritarian di bidang pers seperti halnya pada zaman Orde Baru yang mengharuskan pers seragam dengan pendapat atau keinginan pemerintah. Reaksi Ketua MPR itu pada sisi lain dapat bermakna "kampanye" pemilihan presiden dan pemilu 2004.

Banyak reaksi berisi "penjelasan" kepada Presiden Megawati, bahwa pers melaksanakan fungsi kontrol sosial dan kritik terhadap pemerintah. Pasti Presiden Megawati mengetahui pula fungsi kontrol dan kritik yang dimiliki pers. Ihwal yang ia persoalkan rupanya adalah cara pers melaksanakan fungsi tersebut yang ia nilai "tidak adil", "tidak berimbang", "kebablasan", dan melakukan "pelintiran" fakta atau kata-kata.


Distorsi Komunikasi

Seorang anggota DPR-RI juga pernah mengatakan kepada saya bahwa pernyataan-pernyataannya pun sering dipelintir oleh pers. KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid ketika menjadi presiden juga sering menuduh pers melakukan character assasination dengan memutarbalikkan fakta. Tetapi Gus Dur melangkah lebih dekat pada pers dengan menjadikan pertemuan konsultasi dengan para pemred media masa di Jln. Utan Kayu 68 H sebelum ia dilengserkan oleh MPR. Gus Dur juga merencanakan pembentukan sebuah badan konsultasi permanen yang beranggotakan wakil-wakil media massa dan pemerintah untuk mengatasi distorsi komunikasi antara pers dengan pemerintah. Padahal sudah ada beberapa jubir yang bertugas menjelaskan kebijaksanaan-kebijaksanaannya kepada masyarakat.

Salah satu kelemahan utama Presiden Megawati adalah sikapnya yang “anti” jubir, padahal fungsi jubir kepresidenan itu amat vital. Paling sedikit untuk memperkecil miskomunikasi atau distorsi komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dengan DPR/ MPR.


Anti “fair comment and criticism

Teori jurnalisme Barat memperkenalkan arti komentar dan penilaian (kritik) yag jujur. Semua orang, organisasi atau institusi yang bekerja untuk kepentingan umum harus tunduk pada penilaian masyarakat. Jadi, lembaga pers dan penyiaran juga harus tunduk pada kritik yang fair dari masyarakat. Media massa adalah sebagai subjek dan objek kritik. Sama dengan lembaga legislatif dan lembaga-lembaga publik lainnya termasuk ornop-ornop adalah subyek dan obyek kritik yang jujur (fair). Media massa tak cuma memiliki fungsi dan kontrol sosial, tetapi juga wajib menerima kritik atau penilaian dari masyarakat karena media massa bekerja untuk kepentingan umum. Hal itu jelas kelihatan dalam ketentuan Hak Jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat yang wajib dilaksanakan oleh media massa baik menurut UU Pers, UU Penyiaran, maupun menurut KEJ.

Sementara seorang presiden adalah ibarat puncak sebuah pohon yang tinggi. Otomatis mendapat lebih banyak terpaan angin dibandingkan dengan pohon-pohon yang lebih rendah. Maka, sah-sah saja kalau seorang Presiden atau Perdana Menteri (PM) mendapat banyak kritik dari rakyat dengan berbagai macam cara. Kritik, penilaian atau kontrol sosial lewat media massa adalah yang paling komprehensip karena media massa atau publisistik media (pers) memiliki ciri publisitas (terbuka untuk umum) dan universalitas (berisi banyak macam hal untuk banyak orang). Bahasa Belandanya: veelzeidig van inhoud, atau banyak macam isinya. Lagian, media massa di negara-negara demokrasi memiliki kedudukan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate) atau pilar demokrasi yang keempat.

Ihwal yang penting, kritik itu harus fair. Bagi media massa yang dimaksud “fair criticism” ukurannya tidak melakukan pelintiran kata-kata, pemutar-balikan fakta dan tidak menyimpang dari rumus 5 W + H, tidak langgar norma-norma KEJ.(060203)

Hambali yang Misterius

A.Muis

Orang yang bernama Hambali banyak sekali. Tetapi, Hambali yang satu ini bukan sembarang Hambali. Menurut berita media massa ia dituduh telah melakukan serangkaian pemboman di Indonesia dan di negara-negara lain. Dengan kata lain, Hambali adalah salah seorang tertuduh teroris Internasional. Tentu saja, Hambali tak mungkin mau mengakui istilah itu karena pasti ia punya misi menurut keyakinan pribadinya. Artinya ia berada pada dimensi kehidupan lainnya. Jadi perbuatan melanggar hukum (kejahatan) yang dituduhkan kepadanya mungkin diluar kerangka referensinya. Kira-kira sama dengan pengertian (kerangka referensi) George W.Bush, Tony Blair dan John Howard yang membantai banyak rakyat Irak yang tak berdosa. Mereka berdalih untuk menghancurkan sejata kimia Irak dan menyingkirkan resim Saddam Husein. Secara sepihak para teroris kaliber dunia itu menuduh resim itu melakukan kejahatan internasional, mengancam perdamaian dunia (maling teriak maling).

Sekarang masalah penangkapan Hambali yang konon memakai paspor Spanyol itu. Ia dtangkap oleh pemerintah thailand lalu diserahkan kepada Amerika. Pemerintah Indonesia terpaksa berkorban perasaan karena Thailand seakan-akan tak menghormati hak-hak Indonesia. Para pejabat terpaksa menyatakan "tak perlu dipermasalahkan". Dipermasalahkan pun tak akan ada hasilnya. Bahkan Amerika bisa memarahi pemerintah Indonesia. Jadi pemerintah Indonesia lebih baik memohon kebaikan hati AS untuk diberikan akses kepada Hambali guna minta keterangan atau memeriksa Hambali. Sebenarnya hukum pidana Indonesia berlaku bagi WNI yang melakukan kejahatan di LN (asas nasionalitas). Ketidaksediaan Thailand menyerahkan Hambali ke Indonesia agaknya bukan saja karena tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand, tetapi agaknya Thailand meragukan kesanggupan pemerintah kota dalam memberantas terorisme di Indonesia. Padahal sudah ada UU Anti Terorisme dan sudah ada pelaku-pelaku teror bom dihukum berat. Negara-negara lain agaknya selalu menganggap Indonesia "sarang teroris". Oleh media massa luar negeri terutama di Amerika, Inggris dan Australia, terorisme selalu dikaitkan dengan Jamaah Islamiah dan al-Qaidah yang mereka sinyalir banyak di Indonesia. Umat Islam di Indonesia yang jumlahnya berkisar 90% dianggap sebagai lahan subur bagi organisasi-organisasi teroris. Pada pokoknya umat Islam identik dengan terorisme dalam pandangan Amerika, Inggris, Australia, dan sekutu mereka, kecuali umat Islam Amerika dan umat islam di negara-negara barat lainnya dan di sebagian negara-negara Asia.

Kenyataannya memang demikian. Kebanyakan pelaku bom bunuh diri atau tanpa bunuh diri adalah orang-orang islam. Tetapi, sekali lagi, istilah teror bom atau terorisme tidak ada dalam pengertian atau dalam kerangka referensi mereka. Sebab jika hal itu ada di dalam kerangka pikir mereka tentu mereka tak mau melakukan hal itu. Para pejuang Palestina menyebutnya jihad. Begitu pula sebutan para pejuang pembebasan Irak dan Afganistan dari penjajahan AS dan sekutu-sekutunya. Jika keyakinan atau pengertian seperti itu juga melekat pada diri kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia maka bisa dikhawatirkan, teror bom tak mudah diberantas.

Disamping itu kian banyak terjadi kemaksiatan dan perilaku sosial yang melanggar norma-norma agama. Antara lain yang berbau pornografi, misalnya tari-tari yang erotis yang dilakukan penari-penari perempuan dan disiarkan tiap hari/malam oleh TV. Hal itu bisa menyulut perilaku radikal pada kelompok-kelompok anti pornografi dan kemaksiatan. Karena itu ada baiknya para pengelola TV dan media massa lainnya berhati-hati, yakni melakukan sensor mandiri terhadap acara-acara hiburan yang menurut ukuran agama dan ps.282,532,533 KUH-Pidana bernuansa pornografi. Sayang sekali UU. Penyiaran tidak menyengsor siaran hiburan yang berbau porno. Sedang pedoman Perilaku Penyiaran belum disusun oleh KPI.

Sementara itu, Wapres Hamzah Has dalam ceramahnya dan khutbahnya di Masjid Istiqomah di Ceger Jakarta Timur Jum'at 4 Juli 2003, menyesalkan para pengelola TV banyak menyiarkan pornografi. Senada dengan pernyataan Meneg Kominfo, Syamsul Mu'arif, bahwa salah satu penyakit media massa adalah pornografi.(051103)

Membangkitkan Kembali Semangat Kemerdekaan Pers

(Menyongsong Seminar dan Pertemuan Mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Indonesia di Jakarta tgl 14 -19 Desember 2003, dengan Tema “Realitas Globalisasi Media Massa: Dalam Fungsinya Untuk Demokratisasi dan Pemberdayaan Publik” . Tulisan ini mencoba mengkaitkan tema tersebut dengan kasus Tempo yang tragis dan kontroversial itu.)

A.Muis

Kasus majalah Tempo sangat penting artinya sebagai sebuah evaluasi tentang keadaan pers nasional dewasa ini terutama soal kemerdekaannya/kebebasannya. Banyak pihak menilai, kinerja pengadilan dalam kasus Tempo yang sangat kontroversial ini merosot dan berakibat pemasungan baru terhadap kebebasan pers (Kompas, 1/10-03, Terbit 1/10-03, RRI-Pro II 3/10-03, The Jakarta Post 24/10-03).

Implikasinya adalah perlunya pemahaman kembali tentang hakekat kemerdekaan pers, kaitannya dengan demokrasi dan pemberdayaan publik. Adalah John Hulteng dan Roy Nelson (1971) yang menyatakan, di negara-negara demokrasi, rakyat hanya bisa memiliki potensi apabila ada akses yang luas bagi mereka kepada arus berita pers yang jujur dan tidak disensor tentang kejadian-kejadian di dalam negeri dan di seluruh dunia. Salah satu urgensi keberadaan media massa adalah untuk mempertahankan kebebasan rakyat dalam melaksanakan demokrasi (democratic-freedoms). Di negara demokrasi, demikian gagasan Nelson dan Hulteng, pers dan demokrasi atau potensi publik adalah ibarat dua sisi sebuah mata uang.

Juga Jeremy Bentham, ahli filsafat hukum abad 18, menyatakan, tanpa publisitas pers tentang seluruh kegiatan pemerintah di sebuah negara demokrasi maka keburukan akan menjadi permanen; tetapi jika ada pengawasan publisitas-pers maka pikiran jahat tak akan terjadi terus menerus di pemerintahan. Tak mungkin ada kinerja pemerintah yang baik tanpa bantuan publisitas pers. Karena rakyat atau publik tak dapat menilai jalannya pemerintahan tanpa informasi yang lengkap dari pers.

Pers Tanpa Pemerintah?

Pemahaman yang sama mendorong Thomas Jefferson membuat komentar yang sering dikutip tentang peranan pers di negara demokrasi: “Were it left to me to decide whether we should a government without newspaper or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to refer the letter” (dalam buku The Four Estate, 1971). Pers (dan media massa lainnya tentu saja) oleh seorang pendekar hukum Belanda, Kirk Donker Curtius (1883) dijuluki “Ratu Bumi” (de koningin der aarde) karena pers lebih mampu menerangi akal, pikiran, dan hati manusia daripada pemerintah. Istilah populer saat ini adalah “mencerdaskan bangsa”.

Juga pada abad yang lalu, seorang pendekar hukum dan demokrasi dari Phildelphia, AS, David Hemilton, mengungkapkan, bahwa perkara delik pers yang melibatkan elite kekuasaan atau elite sosial pasti terlibat pula didalamnya soal kebebasan pers, soal demokrasi dan hak-hak publik untuk memperoleh informasi (public’s right to know). Dalam tiap delik pers terlibat pula fungsi kontrol, kritik, koreksi yang dimiliki pers. Khusus delik pers yang melibatkan elite sosial dan elite politik tentu terlibat pula fungsi watchdog yang dimilik pers terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi.

Jika pengadilan, demikian gagasan Hemilton, mengabaikan faktor-faktor eksistensi pers tersebut, berarti pengadilan pun mengabaikan demokrasi dan hak publik untuk memperoleh informasi terutama dari media massa.

Pengadilan versus UU Pers

Justru itulah yang terjadi dengan kasus majalah Tempo yang sarat keanehan itu. Pengadilan Negeri Jaksel mengabaikan semua faktor eksistensi pers tersebut yang justru semuanya ada di dalam UU Pers. Berarti pengadilan mengabaikan kekuasaan Undang-Undang yang khusus mengatur pers (Kompas,1/10-03, Terbit 1/10-03,RRI Pro-II 3/10-03). Penyimpangan pengadilan dari UU Pers terjadi baik dalam kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo maupun dalam kasus delik persnya (tuduhan “pencemaran nama baik” pihak penggugat. Dalam kasus pertama PN Jaksel membebaskan satu tersangka dan menjatuhkan hukuman percobaan bagi tersangka lainnya. Hal itu bisa bermakna pembenaran atas pelanggaran pasal 4 ayat 3 UU Pers yang dapat dikaitkan dengan tindakan para mantan tersangka/terpidana ringan.

Dalam kasus kedua PN Jaksel meletakkan sita jaminan atas harta kekayaan (rumah) Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo (dan hampir juga terseret kantor redaksi Tempo). Timbullah masalah kepatuhan/kelayakan penetapan itu dan lagi-lagi muncul konotasi bahwa pengadilan seakan-akan bertindak sebagai lembaga pemasungan pers (imprematur) karena pasal 4 ayat 3 UU Pers terlanggar.

Dalam kasus pertama (kekerasan terhadap wartawan Tempo) mestinya pengadilan tak cuma menggunakan pasal-pasal penganiayaan dalam KUH-Pidana, tetapi juga dipakai pasal 4 ayat 3 UU Pers (asas konkursus realis). Sedangkan untuk kasus kedua (pencemaran) penetapan sita jaminan perlu pertimbangan mengenai keberadaan pasal 4 ayat 3, karena dengan penetapan conservation beslag itu aktivitas Tempo bisa terpasung. Jika Tempo terpasung berarti kebebasan pers nasional terpasung.

TEORI PELURU KOMUNIKASI DI TANGAN MASYARAKAT

A.Muis

Merebaknya istilah “kebablasan pers” dan “kebablasan” komunikasi sosial belakangan ini sangat mencerminkan kemerosotan norma-norma etika dan hukum di bidang tersebut. Istilah yang amburadul itu memang sering tercermin dalam cara-cara penyajian berita yang kata-katanya dipelintir (spinning of words), cara pengambilan angel peristiwa yang diliput (newsevent) dan bahasa (dictions) yang sensasional, yang menyesatkan khalayak (audience) .Institusi-institusi komunikasi sosial pun terkoptasi euforia kebebasan yang berbuntut “ kebablasan.”. Hal itu mudah dilihat dalam berbagai aksi demonstrasi belakangan ini. Misalnya, para demonstran memberi kumis dan menginjak-injak gambar kepala presiden dan wakil presiden. . Cara berdemokrasi dan melaksanakan kebebasan komunikasi seperti itu oleh DR.Barrington Moore Jr. disebut demokrasi dan kebebasan predator. Dari sudut pandang kajian komunikasi (communication study) hal itu berarti, bahwa penggunaan teori peluru komunikasi (bullet theory of communivation) yang biasanya digunakan oleh penguasa negara atau pemerintah kini telah beralih atau melebar ke dalam tangan masyarakat. Seolah – olah model komunikasi bottom up digunakan oleh ORNOP – ORNOP untuk mengalahkan model komunikasi top down atau model S-R yang, misalnya , berupa kebijakan pemerintah di berbagai bidang . Sama halnya Ornop Penyiaran yang anti sensor ,anti sanksi administratip dan anti kewenangan pemerintah dalam hal perizinan penyiaran Sikap keras anti sensor terhadap tayangan media audio-visual sinematografis yang notabene melanggar nilai-nilai agama dan norma-norma budaya komunikasi mayoritas bangsa ini juga mencerminkan penggunaan teori atau model peluru komunikasi , model komunikasi satu arah dan model komunikasi kibernetik oleh sebagian LSM Penyiaran. Paradigma komunikasi top down dianggap ada di dalam UU Media Massa khususnya Penyiaran. Sikap anti terhadap kewenangan pemerintah dalam hal pemberian izin frekuensi bagi penyiaran dan sanksi administratip jelas bertentangan dengan sistem hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia.

Hal itu tentu dapat mendorong pemerintah atau penguasa di Indonesia dan di negara - negara lain di Asean lainnya untuk memberlakukan kebijakan komunikasi (communication policy ) yang ketat atau represip termasuk tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat individual terhadap penyelenggara penyiaran (broadcaster) dan terhadap wartawan (A.Muis, Kompas, 26 Juli 2002). Tak mustahil pula aparat keamanan melakukan tindakan “kebablasan” terhadap “kebablasan” media massa . Maka tak heranlah jika sering terjadi tindakan kekerasan oleh polisi dan tentara terhadap wartawan .Tindakan represip yang sulit dicegah itu justeru sudah lebih dari tindakan sensor dan sanksi administratip atau sudah menyerupai sensor dalam arti luas (imprematur).

Di samping itu KUH-Pidana Indonesia dan undang-undang lain masih menyimpan sejumlah warisan teori media otoriter yng sama dengan tindakan imprematur dan sanksi politik yang berat. Antara lain pasal 154 – 155 , 207 – 208 , Pasal XIV-XV UU No.1 – 1946 dan UU No.23 – 1959 . Benarlah kata Kafel dan Siebert bahwa teori media otoriter sudah terlanjur membudaya di seluruh dunia dan sewaktu – waktu akan kambuh di negara-negara yang justeru menganut teori media libertarian.(031002)

KEGAGALAN DUHAM

A.Muis

DUHAM adalah akronim Deklarasi Universal HAM yang dicetuskan di Paris oleh Majelis Umum PBB. 10 Desember 1948. Ada 30 pasalnya. Semua isinya berkisar pada isu kebebasan pribadi, kemerdekaan bernegara, hak untuk hidup, perlindungan dari pengangguran (pasal 23), demokrasi, kebebasan bergerak, berkomunikasi, berdiam di dalam batas-batas setiap negara, menyampaikan dan menerima informasi tanpa hambatan, tanpa memandang batas-batas wilayah negara (regardless of frontiers) melalui segala macam media yang tersedia, memiliki pendapat dan memberikan pendapat (pasal 13 dan 19). Tetapi kebebasan tiap orang tidak boleh merugikan kebebasan orang lain (pasal 29 ayat 2). Setiap orang juga berhak atas perlindungan dari pengangguran (pasal 23). Juga tak seorangpun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena (pasal 17).

Nyatanya PBB yang mencetuskan DUHAM justru sering melanggarnya sendiri atas kehendak Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang dikuasai hobby Yahudi. Pada level internasional tak ada demokrasi karena hanya 5 negara mempunyai hak veto di PBB. AS dan Inggris, misalnya dengan leluasa merampas harta negara-negara lain atas dukungan PBB. Seperti, misalnya, melucuti dan memusnahkan persenjataan Irak. Hanya AS dan sekutu-sekutunya boleh memiliki senjata nuklir. Negara-negara lain tidak boleh memiliki harta berupa senjata seperti itu (melanggar pasal 17 DUHAM).

Tetapi AS cs kelihatannya takut pada Korea Utara sehingga tidak berani mengancam negara komunis itu untuk diserang jika tidak mau melucuti senjata pemusnah massalnya. AS cs hanya berani terhadap Irak dan negara-negara Islam. Juga Indonesia saat ini praktis telah dijajah oleh AS dan sekutu-sekutunya. Paling tidak, semua keinginan AS cs harus dipatuhi oleh Indonesia. Misalnya saja pemerintah Indoensia selalu menyatakan Indonesia bukan sarang teroris. Tetapi Perpu anti terorisme cenderung membantah pernyataan pemerintah itu dan membenarkan tudingan AS cs.

Sementara hasil yang dicapai oleh polisi dalam mengungkap aktifitas jaringan teroris di Indonesia menunjukkan, bahwa memang ada kelompok atau organisasi teroris di Indonesia yang identitasnya adalah kelompok Islam tertentu. Soal mengapa mereka melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan ajaran Islam (cinta perdamaian) adalah persoalan lain.

Kembali pada DUHAM. Kegagalannya adalah inkonsistensi antara kebebasan informasi internasional dengan demokrasi pada level internasional. Arus informasi internasional berjalan sesuai dengan maksud pasal 19 DUHAM yang dikukuhkan oleh era Dunia Maya (Cyberworld). Ketimpangan arus informasi internasional telah diperlunak oleh era dunia maya sehingga opini publik di banyak negara (world public opinion) memihak Palestina dan Irak. Tetapi sistem politik antarbangsa dikuasai AS cs, yang juga menguasai PBB. Jadi PBB adalah alat kekuasaan AS cs. Sedang AS cs dikuasai Yahudi. Maka zionis Israel-lah yang menguasai tatanan politik dan tatanan ekonomi internasional. Jadi keberadaan pasal 19 DUHAM tentang freedom of information (FOI) tidak mampu mengubah tatanan politik dan ekonomi dunia (new world politics and economics order). DUHAM cuma berhasil “mengukuhkan” tatanan informasi dan komunikasi dunia yang dibaharui oleh negara-negara Selatan (new world information and communication –NWICO). Misalnya The Muslim News –Exchange dan The Al-Qaeda Global Television Networks.

Bagaimana di Indonesia? Payah ! Lembaga-lembaga HAM memang berjuang mati-matian menegakkan HAM. Tetapi seakan-akan terbentur pada tembok raksasa yang amat kuat. Hal itu jelas kelihatan pada kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok. Kasus Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Timika, kasus pembunuhan Ketua Dewan Papua, kasus-kasus tahanan politik dan kasus-kasus penghilangan/ penculikan orang terutama pada zaman Orde Baru dan kasus Marsinah. KONTRAS adalah lembaga HAM yang sering mengungkap kejahatan kemanusiaan di Indonesia seperti itu. Tetapi hampir selalu gagal membawanya ke pengadilan HAM, karena, itu tadi, selalu terbentur tembok besar yang sangat kuat. Lagi pula supremasi hukum seakan-akan sudah menjadi “alat” pelanggaran HAM. (021003)

NEGARA DAN RAKYAT INI SUDAH BABAK BELUR

A.Muis

Sejarah menyaksikan, negara bersama rakyat ini sudah babak belur oleh berbagai pertikaian dan korupsi di kalangan para pemimpin yang haus kekuasaan dan harta. Setelah Belanda hengkang dari Indonesia ternyata penindasan oleh manusia atas manusia dan pelanggaran HAM tidak lenyap, bahkan meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Negara semakin tak mampu mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya, supremasi hukum kian tak mampu mengayomi rakyat kecil dan keadilan juga kian menjauhi mereka. Di pihak lain para penguasa dan para elite politik kian tak terjangkau oleh kekuasaan hukum. Negara telah lama menjadi alat pemerasan atas rakyat oleh mereka yang sedang berkuasa . Rakyat kian lama kian menjadi kurus secara psikis dan moral karena terus menerus tertekan oleh kesulitan dan kesumpekan hidup yang tak berujung. Masa depan kian tak menentu dan cakrawala di sekitar kian gelap. Semua institusi negara dan institusi sosial juga kian lemah karena dijadikan obyek eksploitasi ekonomi dan politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka yang duduk di puncak dan yang dekat pada piramida sosial. Pada semua fase perkembangan sosial itu selalu terjadi eksploitasi institusi publik sehingga selalu terjadi krisis institusional. Hanya caranya berbeda sesuai dengan sistem politik yang berlaku. Di masa Orde Lama dan Orde Baru eksploitasi institusi-institusi publik dilakukan menurut cara-cara kekuasaan totaliter. Di masa Orde Lama demokrasi diberi nama demokrasi terpimpin . Pelaksanaannya sama dengan sistem politik totaliter. Misalnya Ketua MPR/DPR dan Ketua MA adalah Menteri sehingga berada di bawah kekuasaan presiden atau kepala eksekutif. Berlaku tahanan politik . Banyak terjadi sensor dan pembreidelan pers dan berlaku tahanan politik. Di zaman Orde Baru demokrasi disebut Demokrasi Pancasila yang pelaksanaannya sama juga dengan sistem totaliter. Tahanan politik dilanjutkan. Lembaga-lembaga media massa dikekang secara represif dengan undang-undang dan kebijakan media (media law and media policy) yang meniru teori media otoriter atau teori media pembangunan. Banyak terjadi pembreidelan dengan nama pembatalan SIUPP. Pemilihan umum hanya boleh diikuti tiga partai, DPR, MPR dan kekuasaan Kehakiman dikuasai eksekutif secara de facto. Praktek korupsi merajalela. Dan pelanggaran HAM cenderung menjadi “kesenangan” para penguasa.

Di era reformasi ini pengrusakan institusi-institusi publik bahkan cenderung lebih parah lagi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Caranya kian canggih. Demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila tidak ada lagi. . Tidak ada lagi tahanan politik, Demokrasi berubah sifat menjadi demokrasi predator. Salah satu penyebabnya adalah euforia kebebasan yang sangat tajam (kebablasan) di segala bidang dan di semua strata sosial. Praktek korupsi memperoleh ramifikasi yang lebih melengkapi dan lebih mengukuhkan keberadaannya, , yakni praktek KKN.

PENGADILAN HAM DIHADANG KOMPROMI POLITIK.

Lembaga – lembaga demokrasi seperti legislatif dan partai politik dijadikan alat komunikasi politik untuk mengintervensi penegakan hukum atau untuk mempolisasi hukum. Misalnya skandal Bank Bali (Baligate) , Buloggate I dan Buloggate II. Tetapi yang paling tajam adalah Buloggate II . Terkenal istilah “Skenario Muladi” atau ”Skenario Majestik” dan “Skenario Mahakam” untuk menyelamatkan Akbar Tanjung dari tanggung jawab hukum dan politik, atau untuk “menegakkan benang basah”.

Penegakan HAM dan supremasi hukum seakan-akan membentur tembok besar yang sangat kukuh. Penegakan HAM dan hukum kebanyakan hanya berwujud wacana, diskusi atau talk show di TV. Semua orang masih ingat pidato kenegaraan Presiden Megawati tanggal 17 Agustus 2001 yang berisi tekad untuk mengadili para pelanggar HAM dan para pelaku KKN. Tetapi pelaksanaan isi pidato itu bukan lagi hanya jalan di tempat, tetapi seakan-akan terhenti sama-sekali. Upaya penegakan HAM lewat pengadilan HAM sepertinya terjebak dalam kompromi politik, permintaan maaf dan rekonsiliasi nasional. Seakan-akan ada hambatan “hutang budi”. Misalnya saja, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan kasus 27 Juli 1996 yang langsung menimpa Presiden Megawati sendiri. Berita-berita media massa selama ini mengungkapkan bahwa yang terlibat adalah aparat keamana dari TNI dan kepolisian. Di situlah letak masalahnya. Sidang Istimewa MPR tahun silam sukses melengserkan Presiden Abdurrahman Weahid karena dukungan TNI dan Kepolisan. Boleh dikatakan, TNI dan polisi sangat berjasa menyediakan “kuda troya” bagi Megawati untuk lolos masuk benteng istana. Dengan demikian masuk akal jika ”tekad” Presiden Megawati untuk menegakkan HAM tanpa pilih bulu itu mengalami kemacetan yang nyaris total karena terhambat oleh tenggang rasa . Maka tak pelak lagi rasa keadilan rakyat terpaksa selalu dikorbankan. Lain halnya soal pelanggaran HAM berat di Negara Timor Lorosae. Pengadilan HAM berjalan lancar karena ada tekanan internasional terhadap Indonesia.

Jumat, 04 April 2008

go green!!!

save the earth!