Minggu, 06 April 2008

Pers Nasional Vs Presiden Megawati

A.Muis

Menyambut HPN 09/02-2003 (bagian I)

Kecaman Presiden Megawati terhadap media massa khususnya pers (media cetak) tidak hanya terjadi sekali dua kali. Sebelum peristiwa Selasa, 21 Januari 2003 yang heboh itu, Presiden juga sudah pernah menuding pers nasional "kebablasan", membesar-besarkan (blow up) kejadian dan melakukan pelintiran fakta. Misalnya, ketika Presiden Megawati menerima utusan pengurus-pengurus Ikatan Pemuda NU tanggal 08 Juli 2002 di Istana Negara. Presiden menuding pers nasional sudah "kebablasan". Pihaknya merasa, banyak statementnya yang ditulis atau disampaikan oleh pers kepad a masyarakat tidak seperti apa yang ia ucapkan. Menurutnya, pers begitu gampang memutarbalikkan kejadian. Tetapi pihaknya memilih diam saja dalam menghadapi pers seperti itu, katanya kepada pengurus IPNU. Namun ia minta agar dirinya dihargai. Mestinya, menurut Presiden, ke depan pers bisa menyampaikan apa-apa yang bisa mencerdaskan bangsa. Pihaknya bisa menerima kritik apapaun asal disampaikan dengan santun dan sistematis. Sebagai aktivis, Mega tidak merasa risih kalau dikritik, asal caranya benar.

Dalam suatu kesempatan, tanggal 21 Januari 2003 yang lalu, Presiden Megawati kembali mengecam kinerja pers nasional yang ia nilai "nyomplang" (tidak berimbang), "njlimet "dan "ruwet", tidak adil. Menurut Presiden pers cenderung selalu menyudutkannya. Reaksi keras yang diperolehnya bukan cuma dari kalangan wartawean dan para pengamat pers, tetapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais. Menurut Ketua MPR, kecaman Mega itu mestinya atas nama pribadi saja, bukan dalam kapasitas Kepala Negara atau Presiden. Sebab kalau ia melontarkan kecaman terhadap pers sebagai presiden, maka bisa berakibat kembalinya politik otoritarian di bidang pers seperti halnya pada zaman Orde Baru yang mengharuskan pers seragam dengan pendapat atau keinginan pemerintah. Reaksi Ketua MPR itu pada sisi lain dapat bermakna "kampanye" pemilihan presiden dan pemilu 2004.

Banyak reaksi berisi "penjelasan" kepada Presiden Megawati, bahwa pers melaksanakan fungsi kontrol sosial dan kritik terhadap pemerintah. Pasti Presiden Megawati mengetahui pula fungsi kontrol dan kritik yang dimiliki pers. Ihwal yang ia persoalkan rupanya adalah cara pers melaksanakan fungsi tersebut yang ia nilai "tidak adil", "tidak berimbang", "kebablasan", dan melakukan "pelintiran" fakta atau kata-kata.


Distorsi Komunikasi

Seorang anggota DPR-RI juga pernah mengatakan kepada saya bahwa pernyataan-pernyataannya pun sering dipelintir oleh pers. KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid ketika menjadi presiden juga sering menuduh pers melakukan character assasination dengan memutarbalikkan fakta. Tetapi Gus Dur melangkah lebih dekat pada pers dengan menjadikan pertemuan konsultasi dengan para pemred media masa di Jln. Utan Kayu 68 H sebelum ia dilengserkan oleh MPR. Gus Dur juga merencanakan pembentukan sebuah badan konsultasi permanen yang beranggotakan wakil-wakil media massa dan pemerintah untuk mengatasi distorsi komunikasi antara pers dengan pemerintah. Padahal sudah ada beberapa jubir yang bertugas menjelaskan kebijaksanaan-kebijaksanaannya kepada masyarakat.

Salah satu kelemahan utama Presiden Megawati adalah sikapnya yang “anti” jubir, padahal fungsi jubir kepresidenan itu amat vital. Paling sedikit untuk memperkecil miskomunikasi atau distorsi komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dengan DPR/ MPR.


Anti “fair comment and criticism

Teori jurnalisme Barat memperkenalkan arti komentar dan penilaian (kritik) yag jujur. Semua orang, organisasi atau institusi yang bekerja untuk kepentingan umum harus tunduk pada penilaian masyarakat. Jadi, lembaga pers dan penyiaran juga harus tunduk pada kritik yang fair dari masyarakat. Media massa adalah sebagai subjek dan objek kritik. Sama dengan lembaga legislatif dan lembaga-lembaga publik lainnya termasuk ornop-ornop adalah subyek dan obyek kritik yang jujur (fair). Media massa tak cuma memiliki fungsi dan kontrol sosial, tetapi juga wajib menerima kritik atau penilaian dari masyarakat karena media massa bekerja untuk kepentingan umum. Hal itu jelas kelihatan dalam ketentuan Hak Jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat yang wajib dilaksanakan oleh media massa baik menurut UU Pers, UU Penyiaran, maupun menurut KEJ.

Sementara seorang presiden adalah ibarat puncak sebuah pohon yang tinggi. Otomatis mendapat lebih banyak terpaan angin dibandingkan dengan pohon-pohon yang lebih rendah. Maka, sah-sah saja kalau seorang Presiden atau Perdana Menteri (PM) mendapat banyak kritik dari rakyat dengan berbagai macam cara. Kritik, penilaian atau kontrol sosial lewat media massa adalah yang paling komprehensip karena media massa atau publisistik media (pers) memiliki ciri publisitas (terbuka untuk umum) dan universalitas (berisi banyak macam hal untuk banyak orang). Bahasa Belandanya: veelzeidig van inhoud, atau banyak macam isinya. Lagian, media massa di negara-negara demokrasi memiliki kedudukan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate) atau pilar demokrasi yang keempat.

Ihwal yang penting, kritik itu harus fair. Bagi media massa yang dimaksud “fair criticism” ukurannya tidak melakukan pelintiran kata-kata, pemutar-balikan fakta dan tidak menyimpang dari rumus 5 W + H, tidak langgar norma-norma KEJ.(060203)

Hambali yang Misterius

A.Muis

Orang yang bernama Hambali banyak sekali. Tetapi, Hambali yang satu ini bukan sembarang Hambali. Menurut berita media massa ia dituduh telah melakukan serangkaian pemboman di Indonesia dan di negara-negara lain. Dengan kata lain, Hambali adalah salah seorang tertuduh teroris Internasional. Tentu saja, Hambali tak mungkin mau mengakui istilah itu karena pasti ia punya misi menurut keyakinan pribadinya. Artinya ia berada pada dimensi kehidupan lainnya. Jadi perbuatan melanggar hukum (kejahatan) yang dituduhkan kepadanya mungkin diluar kerangka referensinya. Kira-kira sama dengan pengertian (kerangka referensi) George W.Bush, Tony Blair dan John Howard yang membantai banyak rakyat Irak yang tak berdosa. Mereka berdalih untuk menghancurkan sejata kimia Irak dan menyingkirkan resim Saddam Husein. Secara sepihak para teroris kaliber dunia itu menuduh resim itu melakukan kejahatan internasional, mengancam perdamaian dunia (maling teriak maling).

Sekarang masalah penangkapan Hambali yang konon memakai paspor Spanyol itu. Ia dtangkap oleh pemerintah thailand lalu diserahkan kepada Amerika. Pemerintah Indonesia terpaksa berkorban perasaan karena Thailand seakan-akan tak menghormati hak-hak Indonesia. Para pejabat terpaksa menyatakan "tak perlu dipermasalahkan". Dipermasalahkan pun tak akan ada hasilnya. Bahkan Amerika bisa memarahi pemerintah Indonesia. Jadi pemerintah Indonesia lebih baik memohon kebaikan hati AS untuk diberikan akses kepada Hambali guna minta keterangan atau memeriksa Hambali. Sebenarnya hukum pidana Indonesia berlaku bagi WNI yang melakukan kejahatan di LN (asas nasionalitas). Ketidaksediaan Thailand menyerahkan Hambali ke Indonesia agaknya bukan saja karena tak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Thailand, tetapi agaknya Thailand meragukan kesanggupan pemerintah kota dalam memberantas terorisme di Indonesia. Padahal sudah ada UU Anti Terorisme dan sudah ada pelaku-pelaku teror bom dihukum berat. Negara-negara lain agaknya selalu menganggap Indonesia "sarang teroris". Oleh media massa luar negeri terutama di Amerika, Inggris dan Australia, terorisme selalu dikaitkan dengan Jamaah Islamiah dan al-Qaidah yang mereka sinyalir banyak di Indonesia. Umat Islam di Indonesia yang jumlahnya berkisar 90% dianggap sebagai lahan subur bagi organisasi-organisasi teroris. Pada pokoknya umat Islam identik dengan terorisme dalam pandangan Amerika, Inggris, Australia, dan sekutu mereka, kecuali umat Islam Amerika dan umat islam di negara-negara barat lainnya dan di sebagian negara-negara Asia.

Kenyataannya memang demikian. Kebanyakan pelaku bom bunuh diri atau tanpa bunuh diri adalah orang-orang islam. Tetapi, sekali lagi, istilah teror bom atau terorisme tidak ada dalam pengertian atau dalam kerangka referensi mereka. Sebab jika hal itu ada di dalam kerangka pikir mereka tentu mereka tak mau melakukan hal itu. Para pejuang Palestina menyebutnya jihad. Begitu pula sebutan para pejuang pembebasan Irak dan Afganistan dari penjajahan AS dan sekutu-sekutunya. Jika keyakinan atau pengertian seperti itu juga melekat pada diri kelompok-kelompok radikal Islam di Indonesia maka bisa dikhawatirkan, teror bom tak mudah diberantas.

Disamping itu kian banyak terjadi kemaksiatan dan perilaku sosial yang melanggar norma-norma agama. Antara lain yang berbau pornografi, misalnya tari-tari yang erotis yang dilakukan penari-penari perempuan dan disiarkan tiap hari/malam oleh TV. Hal itu bisa menyulut perilaku radikal pada kelompok-kelompok anti pornografi dan kemaksiatan. Karena itu ada baiknya para pengelola TV dan media massa lainnya berhati-hati, yakni melakukan sensor mandiri terhadap acara-acara hiburan yang menurut ukuran agama dan ps.282,532,533 KUH-Pidana bernuansa pornografi. Sayang sekali UU. Penyiaran tidak menyengsor siaran hiburan yang berbau porno. Sedang pedoman Perilaku Penyiaran belum disusun oleh KPI.

Sementara itu, Wapres Hamzah Has dalam ceramahnya dan khutbahnya di Masjid Istiqomah di Ceger Jakarta Timur Jum'at 4 Juli 2003, menyesalkan para pengelola TV banyak menyiarkan pornografi. Senada dengan pernyataan Meneg Kominfo, Syamsul Mu'arif, bahwa salah satu penyakit media massa adalah pornografi.(051103)

Membangkitkan Kembali Semangat Kemerdekaan Pers

(Menyongsong Seminar dan Pertemuan Mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Indonesia di Jakarta tgl 14 -19 Desember 2003, dengan Tema “Realitas Globalisasi Media Massa: Dalam Fungsinya Untuk Demokratisasi dan Pemberdayaan Publik” . Tulisan ini mencoba mengkaitkan tema tersebut dengan kasus Tempo yang tragis dan kontroversial itu.)

A.Muis

Kasus majalah Tempo sangat penting artinya sebagai sebuah evaluasi tentang keadaan pers nasional dewasa ini terutama soal kemerdekaannya/kebebasannya. Banyak pihak menilai, kinerja pengadilan dalam kasus Tempo yang sangat kontroversial ini merosot dan berakibat pemasungan baru terhadap kebebasan pers (Kompas, 1/10-03, Terbit 1/10-03, RRI-Pro II 3/10-03, The Jakarta Post 24/10-03).

Implikasinya adalah perlunya pemahaman kembali tentang hakekat kemerdekaan pers, kaitannya dengan demokrasi dan pemberdayaan publik. Adalah John Hulteng dan Roy Nelson (1971) yang menyatakan, di negara-negara demokrasi, rakyat hanya bisa memiliki potensi apabila ada akses yang luas bagi mereka kepada arus berita pers yang jujur dan tidak disensor tentang kejadian-kejadian di dalam negeri dan di seluruh dunia. Salah satu urgensi keberadaan media massa adalah untuk mempertahankan kebebasan rakyat dalam melaksanakan demokrasi (democratic-freedoms). Di negara demokrasi, demikian gagasan Nelson dan Hulteng, pers dan demokrasi atau potensi publik adalah ibarat dua sisi sebuah mata uang.

Juga Jeremy Bentham, ahli filsafat hukum abad 18, menyatakan, tanpa publisitas pers tentang seluruh kegiatan pemerintah di sebuah negara demokrasi maka keburukan akan menjadi permanen; tetapi jika ada pengawasan publisitas-pers maka pikiran jahat tak akan terjadi terus menerus di pemerintahan. Tak mungkin ada kinerja pemerintah yang baik tanpa bantuan publisitas pers. Karena rakyat atau publik tak dapat menilai jalannya pemerintahan tanpa informasi yang lengkap dari pers.

Pers Tanpa Pemerintah?

Pemahaman yang sama mendorong Thomas Jefferson membuat komentar yang sering dikutip tentang peranan pers di negara demokrasi: “Were it left to me to decide whether we should a government without newspaper or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to refer the letter” (dalam buku The Four Estate, 1971). Pers (dan media massa lainnya tentu saja) oleh seorang pendekar hukum Belanda, Kirk Donker Curtius (1883) dijuluki “Ratu Bumi” (de koningin der aarde) karena pers lebih mampu menerangi akal, pikiran, dan hati manusia daripada pemerintah. Istilah populer saat ini adalah “mencerdaskan bangsa”.

Juga pada abad yang lalu, seorang pendekar hukum dan demokrasi dari Phildelphia, AS, David Hemilton, mengungkapkan, bahwa perkara delik pers yang melibatkan elite kekuasaan atau elite sosial pasti terlibat pula didalamnya soal kebebasan pers, soal demokrasi dan hak-hak publik untuk memperoleh informasi (public’s right to know). Dalam tiap delik pers terlibat pula fungsi kontrol, kritik, koreksi yang dimiliki pers. Khusus delik pers yang melibatkan elite sosial dan elite politik tentu terlibat pula fungsi watchdog yang dimilik pers terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi.

Jika pengadilan, demikian gagasan Hemilton, mengabaikan faktor-faktor eksistensi pers tersebut, berarti pengadilan pun mengabaikan demokrasi dan hak publik untuk memperoleh informasi terutama dari media massa.

Pengadilan versus UU Pers

Justru itulah yang terjadi dengan kasus majalah Tempo yang sarat keanehan itu. Pengadilan Negeri Jaksel mengabaikan semua faktor eksistensi pers tersebut yang justru semuanya ada di dalam UU Pers. Berarti pengadilan mengabaikan kekuasaan Undang-Undang yang khusus mengatur pers (Kompas,1/10-03, Terbit 1/10-03,RRI Pro-II 3/10-03). Penyimpangan pengadilan dari UU Pers terjadi baik dalam kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo maupun dalam kasus delik persnya (tuduhan “pencemaran nama baik” pihak penggugat. Dalam kasus pertama PN Jaksel membebaskan satu tersangka dan menjatuhkan hukuman percobaan bagi tersangka lainnya. Hal itu bisa bermakna pembenaran atas pelanggaran pasal 4 ayat 3 UU Pers yang dapat dikaitkan dengan tindakan para mantan tersangka/terpidana ringan.

Dalam kasus kedua PN Jaksel meletakkan sita jaminan atas harta kekayaan (rumah) Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo (dan hampir juga terseret kantor redaksi Tempo). Timbullah masalah kepatuhan/kelayakan penetapan itu dan lagi-lagi muncul konotasi bahwa pengadilan seakan-akan bertindak sebagai lembaga pemasungan pers (imprematur) karena pasal 4 ayat 3 UU Pers terlanggar.

Dalam kasus pertama (kekerasan terhadap wartawan Tempo) mestinya pengadilan tak cuma menggunakan pasal-pasal penganiayaan dalam KUH-Pidana, tetapi juga dipakai pasal 4 ayat 3 UU Pers (asas konkursus realis). Sedangkan untuk kasus kedua (pencemaran) penetapan sita jaminan perlu pertimbangan mengenai keberadaan pasal 4 ayat 3, karena dengan penetapan conservation beslag itu aktivitas Tempo bisa terpasung. Jika Tempo terpasung berarti kebebasan pers nasional terpasung.

TEORI PELURU KOMUNIKASI DI TANGAN MASYARAKAT

A.Muis

Merebaknya istilah “kebablasan pers” dan “kebablasan” komunikasi sosial belakangan ini sangat mencerminkan kemerosotan norma-norma etika dan hukum di bidang tersebut. Istilah yang amburadul itu memang sering tercermin dalam cara-cara penyajian berita yang kata-katanya dipelintir (spinning of words), cara pengambilan angel peristiwa yang diliput (newsevent) dan bahasa (dictions) yang sensasional, yang menyesatkan khalayak (audience) .Institusi-institusi komunikasi sosial pun terkoptasi euforia kebebasan yang berbuntut “ kebablasan.”. Hal itu mudah dilihat dalam berbagai aksi demonstrasi belakangan ini. Misalnya, para demonstran memberi kumis dan menginjak-injak gambar kepala presiden dan wakil presiden. . Cara berdemokrasi dan melaksanakan kebebasan komunikasi seperti itu oleh DR.Barrington Moore Jr. disebut demokrasi dan kebebasan predator. Dari sudut pandang kajian komunikasi (communication study) hal itu berarti, bahwa penggunaan teori peluru komunikasi (bullet theory of communivation) yang biasanya digunakan oleh penguasa negara atau pemerintah kini telah beralih atau melebar ke dalam tangan masyarakat. Seolah – olah model komunikasi bottom up digunakan oleh ORNOP – ORNOP untuk mengalahkan model komunikasi top down atau model S-R yang, misalnya , berupa kebijakan pemerintah di berbagai bidang . Sama halnya Ornop Penyiaran yang anti sensor ,anti sanksi administratip dan anti kewenangan pemerintah dalam hal perizinan penyiaran Sikap keras anti sensor terhadap tayangan media audio-visual sinematografis yang notabene melanggar nilai-nilai agama dan norma-norma budaya komunikasi mayoritas bangsa ini juga mencerminkan penggunaan teori atau model peluru komunikasi , model komunikasi satu arah dan model komunikasi kibernetik oleh sebagian LSM Penyiaran. Paradigma komunikasi top down dianggap ada di dalam UU Media Massa khususnya Penyiaran. Sikap anti terhadap kewenangan pemerintah dalam hal pemberian izin frekuensi bagi penyiaran dan sanksi administratip jelas bertentangan dengan sistem hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia.

Hal itu tentu dapat mendorong pemerintah atau penguasa di Indonesia dan di negara - negara lain di Asean lainnya untuk memberlakukan kebijakan komunikasi (communication policy ) yang ketat atau represip termasuk tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat individual terhadap penyelenggara penyiaran (broadcaster) dan terhadap wartawan (A.Muis, Kompas, 26 Juli 2002). Tak mustahil pula aparat keamanan melakukan tindakan “kebablasan” terhadap “kebablasan” media massa . Maka tak heranlah jika sering terjadi tindakan kekerasan oleh polisi dan tentara terhadap wartawan .Tindakan represip yang sulit dicegah itu justeru sudah lebih dari tindakan sensor dan sanksi administratip atau sudah menyerupai sensor dalam arti luas (imprematur).

Di samping itu KUH-Pidana Indonesia dan undang-undang lain masih menyimpan sejumlah warisan teori media otoriter yng sama dengan tindakan imprematur dan sanksi politik yang berat. Antara lain pasal 154 – 155 , 207 – 208 , Pasal XIV-XV UU No.1 – 1946 dan UU No.23 – 1959 . Benarlah kata Kafel dan Siebert bahwa teori media otoriter sudah terlanjur membudaya di seluruh dunia dan sewaktu – waktu akan kambuh di negara-negara yang justeru menganut teori media libertarian.(031002)

KEGAGALAN DUHAM

A.Muis

DUHAM adalah akronim Deklarasi Universal HAM yang dicetuskan di Paris oleh Majelis Umum PBB. 10 Desember 1948. Ada 30 pasalnya. Semua isinya berkisar pada isu kebebasan pribadi, kemerdekaan bernegara, hak untuk hidup, perlindungan dari pengangguran (pasal 23), demokrasi, kebebasan bergerak, berkomunikasi, berdiam di dalam batas-batas setiap negara, menyampaikan dan menerima informasi tanpa hambatan, tanpa memandang batas-batas wilayah negara (regardless of frontiers) melalui segala macam media yang tersedia, memiliki pendapat dan memberikan pendapat (pasal 13 dan 19). Tetapi kebebasan tiap orang tidak boleh merugikan kebebasan orang lain (pasal 29 ayat 2). Setiap orang juga berhak atas perlindungan dari pengangguran (pasal 23). Juga tak seorangpun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena (pasal 17).

Nyatanya PBB yang mencetuskan DUHAM justru sering melanggarnya sendiri atas kehendak Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang dikuasai hobby Yahudi. Pada level internasional tak ada demokrasi karena hanya 5 negara mempunyai hak veto di PBB. AS dan Inggris, misalnya dengan leluasa merampas harta negara-negara lain atas dukungan PBB. Seperti, misalnya, melucuti dan memusnahkan persenjataan Irak. Hanya AS dan sekutu-sekutunya boleh memiliki senjata nuklir. Negara-negara lain tidak boleh memiliki harta berupa senjata seperti itu (melanggar pasal 17 DUHAM).

Tetapi AS cs kelihatannya takut pada Korea Utara sehingga tidak berani mengancam negara komunis itu untuk diserang jika tidak mau melucuti senjata pemusnah massalnya. AS cs hanya berani terhadap Irak dan negara-negara Islam. Juga Indonesia saat ini praktis telah dijajah oleh AS dan sekutu-sekutunya. Paling tidak, semua keinginan AS cs harus dipatuhi oleh Indonesia. Misalnya saja pemerintah Indoensia selalu menyatakan Indonesia bukan sarang teroris. Tetapi Perpu anti terorisme cenderung membantah pernyataan pemerintah itu dan membenarkan tudingan AS cs.

Sementara hasil yang dicapai oleh polisi dalam mengungkap aktifitas jaringan teroris di Indonesia menunjukkan, bahwa memang ada kelompok atau organisasi teroris di Indonesia yang identitasnya adalah kelompok Islam tertentu. Soal mengapa mereka melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan ajaran Islam (cinta perdamaian) adalah persoalan lain.

Kembali pada DUHAM. Kegagalannya adalah inkonsistensi antara kebebasan informasi internasional dengan demokrasi pada level internasional. Arus informasi internasional berjalan sesuai dengan maksud pasal 19 DUHAM yang dikukuhkan oleh era Dunia Maya (Cyberworld). Ketimpangan arus informasi internasional telah diperlunak oleh era dunia maya sehingga opini publik di banyak negara (world public opinion) memihak Palestina dan Irak. Tetapi sistem politik antarbangsa dikuasai AS cs, yang juga menguasai PBB. Jadi PBB adalah alat kekuasaan AS cs. Sedang AS cs dikuasai Yahudi. Maka zionis Israel-lah yang menguasai tatanan politik dan tatanan ekonomi internasional. Jadi keberadaan pasal 19 DUHAM tentang freedom of information (FOI) tidak mampu mengubah tatanan politik dan ekonomi dunia (new world politics and economics order). DUHAM cuma berhasil “mengukuhkan” tatanan informasi dan komunikasi dunia yang dibaharui oleh negara-negara Selatan (new world information and communication –NWICO). Misalnya The Muslim News –Exchange dan The Al-Qaeda Global Television Networks.

Bagaimana di Indonesia? Payah ! Lembaga-lembaga HAM memang berjuang mati-matian menegakkan HAM. Tetapi seakan-akan terbentur pada tembok raksasa yang amat kuat. Hal itu jelas kelihatan pada kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok. Kasus Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Timika, kasus pembunuhan Ketua Dewan Papua, kasus-kasus tahanan politik dan kasus-kasus penghilangan/ penculikan orang terutama pada zaman Orde Baru dan kasus Marsinah. KONTRAS adalah lembaga HAM yang sering mengungkap kejahatan kemanusiaan di Indonesia seperti itu. Tetapi hampir selalu gagal membawanya ke pengadilan HAM, karena, itu tadi, selalu terbentur tembok besar yang sangat kuat. Lagi pula supremasi hukum seakan-akan sudah menjadi “alat” pelanggaran HAM. (021003)

NEGARA DAN RAKYAT INI SUDAH BABAK BELUR

A.Muis

Sejarah menyaksikan, negara bersama rakyat ini sudah babak belur oleh berbagai pertikaian dan korupsi di kalangan para pemimpin yang haus kekuasaan dan harta. Setelah Belanda hengkang dari Indonesia ternyata penindasan oleh manusia atas manusia dan pelanggaran HAM tidak lenyap, bahkan meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Negara semakin tak mampu mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya, supremasi hukum kian tak mampu mengayomi rakyat kecil dan keadilan juga kian menjauhi mereka. Di pihak lain para penguasa dan para elite politik kian tak terjangkau oleh kekuasaan hukum. Negara telah lama menjadi alat pemerasan atas rakyat oleh mereka yang sedang berkuasa . Rakyat kian lama kian menjadi kurus secara psikis dan moral karena terus menerus tertekan oleh kesulitan dan kesumpekan hidup yang tak berujung. Masa depan kian tak menentu dan cakrawala di sekitar kian gelap. Semua institusi negara dan institusi sosial juga kian lemah karena dijadikan obyek eksploitasi ekonomi dan politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka yang duduk di puncak dan yang dekat pada piramida sosial. Pada semua fase perkembangan sosial itu selalu terjadi eksploitasi institusi publik sehingga selalu terjadi krisis institusional. Hanya caranya berbeda sesuai dengan sistem politik yang berlaku. Di masa Orde Lama dan Orde Baru eksploitasi institusi-institusi publik dilakukan menurut cara-cara kekuasaan totaliter. Di masa Orde Lama demokrasi diberi nama demokrasi terpimpin . Pelaksanaannya sama dengan sistem politik totaliter. Misalnya Ketua MPR/DPR dan Ketua MA adalah Menteri sehingga berada di bawah kekuasaan presiden atau kepala eksekutif. Berlaku tahanan politik . Banyak terjadi sensor dan pembreidelan pers dan berlaku tahanan politik. Di zaman Orde Baru demokrasi disebut Demokrasi Pancasila yang pelaksanaannya sama juga dengan sistem totaliter. Tahanan politik dilanjutkan. Lembaga-lembaga media massa dikekang secara represif dengan undang-undang dan kebijakan media (media law and media policy) yang meniru teori media otoriter atau teori media pembangunan. Banyak terjadi pembreidelan dengan nama pembatalan SIUPP. Pemilihan umum hanya boleh diikuti tiga partai, DPR, MPR dan kekuasaan Kehakiman dikuasai eksekutif secara de facto. Praktek korupsi merajalela. Dan pelanggaran HAM cenderung menjadi “kesenangan” para penguasa.

Di era reformasi ini pengrusakan institusi-institusi publik bahkan cenderung lebih parah lagi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Caranya kian canggih. Demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila tidak ada lagi. . Tidak ada lagi tahanan politik, Demokrasi berubah sifat menjadi demokrasi predator. Salah satu penyebabnya adalah euforia kebebasan yang sangat tajam (kebablasan) di segala bidang dan di semua strata sosial. Praktek korupsi memperoleh ramifikasi yang lebih melengkapi dan lebih mengukuhkan keberadaannya, , yakni praktek KKN.

PENGADILAN HAM DIHADANG KOMPROMI POLITIK.

Lembaga – lembaga demokrasi seperti legislatif dan partai politik dijadikan alat komunikasi politik untuk mengintervensi penegakan hukum atau untuk mempolisasi hukum. Misalnya skandal Bank Bali (Baligate) , Buloggate I dan Buloggate II. Tetapi yang paling tajam adalah Buloggate II . Terkenal istilah “Skenario Muladi” atau ”Skenario Majestik” dan “Skenario Mahakam” untuk menyelamatkan Akbar Tanjung dari tanggung jawab hukum dan politik, atau untuk “menegakkan benang basah”.

Penegakan HAM dan supremasi hukum seakan-akan membentur tembok besar yang sangat kukuh. Penegakan HAM dan hukum kebanyakan hanya berwujud wacana, diskusi atau talk show di TV. Semua orang masih ingat pidato kenegaraan Presiden Megawati tanggal 17 Agustus 2001 yang berisi tekad untuk mengadili para pelanggar HAM dan para pelaku KKN. Tetapi pelaksanaan isi pidato itu bukan lagi hanya jalan di tempat, tetapi seakan-akan terhenti sama-sekali. Upaya penegakan HAM lewat pengadilan HAM sepertinya terjebak dalam kompromi politik, permintaan maaf dan rekonsiliasi nasional. Seakan-akan ada hambatan “hutang budi”. Misalnya saja, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan kasus 27 Juli 1996 yang langsung menimpa Presiden Megawati sendiri. Berita-berita media massa selama ini mengungkapkan bahwa yang terlibat adalah aparat keamana dari TNI dan kepolisian. Di situlah letak masalahnya. Sidang Istimewa MPR tahun silam sukses melengserkan Presiden Abdurrahman Weahid karena dukungan TNI dan Kepolisan. Boleh dikatakan, TNI dan polisi sangat berjasa menyediakan “kuda troya” bagi Megawati untuk lolos masuk benteng istana. Dengan demikian masuk akal jika ”tekad” Presiden Megawati untuk menegakkan HAM tanpa pilih bulu itu mengalami kemacetan yang nyaris total karena terhambat oleh tenggang rasa . Maka tak pelak lagi rasa keadilan rakyat terpaksa selalu dikorbankan. Lain halnya soal pelanggaran HAM berat di Negara Timor Lorosae. Pengadilan HAM berjalan lancar karena ada tekanan internasional terhadap Indonesia.

Jumat, 04 April 2008

go green!!!

save the earth!

Selasa, 01 April 2008

MAKNA “PEKIK MERDEKA” SUDAH BERUBAH

A.Muis

Pekik merdeka yang bergema pada tahun 1945 di seluruh Indonesia sekarang sudah berubah, mengikuti sekian banyak arti kata – kata “perjuangan” yang juga sudah berubah.
Perubahan – perubahan tersebut sangat terkait dengan perubahan sosial yang terus berlangsung dengan cepat. Banyak sekali nilai – nilai tradisional yang dituangkan dalam kata – kata atau istilah – istilah kian lama kian menjadi usang atau menjadi sebuah masa silam yang tidak akan kembali lagi. Dengan kata lain, istilah – istilahnya atau kata – katanya tetap dipakai dalam berbagai event misalnya 17 Agustusan. Hari ulangtahun kemerdekaan RI yang ke – 59 dan sebelumnya maupun ke depan kata – kata merdeka atau pekik merdeka tentu masih tetap berkumandang dimana – mana. Tapi lebih bersifat ceremonial. Sedang essensinya telah dikabulkan oleh makna baru yang diseret oleh perubahan sosial yang sedang berlangsung dengan sangat cepat.


Sekarang ini pengertian merdeka tidak lagi sekadar dari penjajahan politik asing dalam bentuk fisik, tetapi telah diganti dengan penjajahan budaya dan ekonomi, dan kemiskinan yang makin meluas dibarengi kesenjangan sosial ekonomi yang juga makin melebar di kalangan bangsa ini sendiri. Dengan demikian makna kata merdeka atau pekik merdeka lebih bermakna merdeka dari penjajahan ekonomi, penjajahan budaya, seperti kata Chin Chuan Lee. Penjajahan budaya menurut pakar tersebut dialami oleh negara – negara yang sedang berkembang tidak terkecuali Indonesia melalui peranan media massa yang sedang mengalami globalisasi itu sendiri sebetulnya dikuasai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berpusat di negara – negara Barat.


Dengan demikian, menurut pengertian yang diuraikan di atas itu “pekik merdeka” maknanya bagi rakyat biasa ( arus bawah ) adalah merdeka dari penjajahan budaya, penjajahan ekonomi, penjajahan media massa yang dilakukan oleh negara – negara maju, Juga berarti merdeka dari kesenjangan sosial yang makin hebat, merdeka dari kemiskinan dan kemelaratan, merdeka dari kekuasaan yang sewenang – wenang ( pelanggaran HAM ) dan merdeka dari rasa takut dan rasa tidak aman.


Dahulu mendiang Bung Karno menggunakan kata – kata kemerdekaan dari kesulitan hidup atau kemiskinan ( freedom from want ). Bung Karno juga mengatakan bahwa rakyat Indonesia menghendaki kemerdekaan pribadi atau kemerdekaan individu dari berbagai penderitaan ( freedom to be free ). Sayang sekali, semboyan – semboyan yang bernilai tinggi atau bernilai kerakyatan tidak ada yang terlaksana di zaman orde lama itu. Ketiadaan kemerdekaan rakyat kecil dari kesulitan hidup itu berlanjut hingga zaman orde baru, bahkan cenderung meningkat di era reformasi ini. Putri sulung Bung Karno sendiri yang kini menjadi Presiden RI mewarisi sang Ayah, Megawati Soekarnoputri memang mengakui bahwa sekitar 95% rakyat Indonesia adalah rakyat kecil yang miskin dan melarat.

Di samping itu, telah terjadi gerakan – gerakan separatis dan sejenisnya sedang bermunculan di berbagai daerah baik secara terbuka ( GAM, RMS, dan GPM ) maupun secara terselubung seperti gagasan – gagasan federalisme beberapa waktu yang lalu. Lanjut cerita, perjuangan kemerdekaan yang paling berat saat ini bagi rakyat kecil ( wong cilik menurut terminology Presiden Megawati Soekarnoputri ) adalah kemerdekaan diri dari dampak korupsi yang makin lama makin menyusahkan rakyat kecil. Kepedulian sosial di kalangan penguasa keliatannya masih diatas kertas atau masih merupakan alat kampanye Pemilu 2004 baik pemilu legislatif maupun pilpres.


Ada pula cerita mengenai sulitnya akses masyarakat kecil kepada pekerjaan yang layak misalnya TKI di luar negeri ; banyak yang mengalami pengorbanan dalam segala bentuknya karena cara penanganannya baik oleh Pemerintah Indonesia maupun oleh pemerintah asing tempat TKI bekerja tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Cerita lain, tingkat pengangguran yang makin tinggi juga makin menakutkan masyarakat karena hal itu berarti gangguan keamanan akan terus meningkat, timbul generasi baru di dunia kejahatan dan jenisnya pun makin bermacam – macam. Cerita yang menarik adalah orang – orang yang mau masuk bekerja sebagai aparat penegak hokum atau bidang – bidang lain atau pegawai negeri swasta di berbagai bidang konon harus menyuap oknum – oknum pejabat tertentu yang berwewenag menerima petugas baru atau pegawai baru hingga mencapai ratusan juta rupiah.


Tentu saja hal itu, sangat menghambat kesempatan kerja sehingga populasi pengangguran terus meningkat sekaligus meningkatkan jumlah, jenis, dan kualitas kejahatan. Lebih lanjut cerita, peringatan HUT Kemerdekaan bangsa ini semakin bersifat ceremonial belaka, hidmatnya ( maknanya ) kian merosot karena upaya mengisi kemerdekaan seperti yang dimaksud oleh para pendahulu kita ( founding fathers ) tidak atau belum mampu kita penuhi sebagaimana mestinya bahkan cenderung makin jauh dari tujuan para pahlawan kemerdekaan kita. Masalah besar ini, tentunya tidak bisa dianggap remeh oleh Pemerintah baru hasil pilpres 2004 karena kalau Pemerintah baru tidak bisa berbuat banyak bisa diperkirakan akan berakibat munculnya gerakan oposisi dan gerakan ekstra parlementer yang sangat berbahaya.

MASYARAKAT BUTUH LEMBAGA POLICE WATCH

A.Muis

Di dalam RUU Kepolisian tidak ada pasal mengenai lembaga police watch sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan ketertiban dan penegakan supremasi hukum,. Padahal fungsi lembaga itu sangat penting . Paling sedikit sama pentingnya dengan lembaga – lembaga pemantau lainnya seperti Government Watch, Parliament Watch, ICW, Media Watch dan Judicial Watch.Tetapi masyarakat dapat saja membentuk lembaga Police Watch tanpa diatur di dalam UU Kepolisian seperti halnya lembaga-lembaga pemantau publik lainnya yang diutarakan di atas itu. Keberadaan lembaga itu banyak manfaatnya. Antara lain untuk mengatasi kesenjangan komunikasi atau miskomunikasi yang sering terjadi antara polisi dan masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas kinerja polisi.

Di samping itu paradigma baru polisi memang sangat relevan dengan fungsi lembaga pemantau polisi (police watch). Paradigma baru polisi mengacu pada perubahan sikap polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Yakni polisi harus bersikap demokratis, tidak militeristik dan keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat. Implikasinya adalah, polisi harus terbuka kepada masyarakat (transparan), jujur, ramah (friendly), tidak represif terhadap masyarakat , bersikap persuasif dan edukatif.

Kapolda Sulsel Irjen Polisi Drs.Firman Gani memiliki obsesi untuk memulai paradigma baru poliisi itu di Sulawwsi Selatan dengan harapan bisa dicontoh oleh Polda – Polda lain. Kapolda Sulsel, Irjen Polisi Drs.Firman Gani ingin menjadikan paradigma baru polisi itu sebagai pilot project di wilayahnya. Memang Sulsel adalah pintu gerbang lalu lintas internasional di Indonesia Timur dan pusat pengembangan pendidiksn tinggi, sosial budaya, ekonomi, politik dan hukum. Sulsel juga termasuk wilayah yang sedang mengalami perkembangan kriminalitas yang pesat dan canggih. Bahkan Sulsel tergolong peringkat pertama atau paling maju dalam hal praktek KKN . Seirama dengan itu pers setempat hampir tiap hari memberitakan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap warga masyarakat seperti pemerasan, penganiayaan. pengeroyokan dan perampasan kemerdekaan warga secara sewenag – wenang. Dengan kata lain citra (image) masyarakat tentang kinerja polisi di Sulsel masih berada di bawah standar. Padahal masih banyak polisi di wilayah itu yang kinerjanya baik.

PARADIGMA BARU POLISI.

Masalahnya, mengapa para polisi yang kinerjanya baik hampir tak pernah mendapat pujian dari masyarakat? Mungkin masyarakat berpendapat bahwa sudah seharusnyalah polisi memiliki kinerja yang baik sehingga tak perlu dipuji , tetapi patut dihargai. Namun kinerja buruk beberapa polisi akan merusak citra semua polisi di wilayahnya. Setitik saja nila di dalam sebuah belanga yang berisi susu akan merusak seluruh susu itu.

Untuk melaksanakan paradigma baru polisi tentu masing – masing Polda harus berupaya keras untuk meniadakan atau paling sedikit mengurangi realitas di lapangan yang menunjukkan masih buruknya kinerja polisi. Masih banyak polisi tak sanggup bersikap transparan , demokratis dan berhenti melanggar hukum dalam menegakkan hukum (anomia) .

Sering masyarakat sendiri harus mengambil initiatif untuk melawan tindakan kekerasan oknum – oknum polisi . Caranya dua macam, yakni melakukan amuk massa dan membakar kantor polisi (Polsek atau Polres) yang dinilai membiarkan anggota-anggotanya melakukan kezaliman terhadap masyarakat. Atau melakukan unjuk rasa ke DPR-D II setempat untuk meminta penggantian Kapolres atau Kapolsek dan anak buah mereka. Namun cara itu pun kurang efektif karena sering terjadi pameo atau pepatah “ monyet pergi kera datang”.

Seminar di Mapolda Sulsel tanggal 12 Nopember 2001 yang meminta saya menjadi narasumber menghasilkan kesepakatan untuk membenahi i kinerja polisi di wilayah itu agar bisa tercipta kebersamaan antara polisi dan masyarakat guna mewujudkan keamanan bersama. Paradigma baru polisi harus diterapkan.



MASIH SULIT DITERAPKAN.

Namun realitas di lapangan tetap saja tidak mendukung pelaksanaan paradigma baru polisi tersebut. Hasil seminar itu masih sebatas wacana . Belum usai gema seminar Polda Sulsel tersebut sudah banyak lagi berita-berita pers setempat tentang terjadinya berbagai tindak kekerasan, pemerasan dan bentuk kezaliman lainnya yang dilakukan oleh polisi terhadap warga masyarakat di sejumlah kota dan desa di Sulsel. Padahal seminar tersebut diikuti 250 Kapolres, Kapolwil , Kapolsek dan pejabat – pejabat POLRI dari seluruh Sulsel. Diberitakan secara lengkap oleh Pedoman Rakyat ( 18-19 Nopember 2001) adalah salah satu contoh tentang sikap tertutup polisi. Polisi di Polsekta Mariso minta uang Rp.200.000 kepada orang tua korban untuk memproses kasus pidana itu. Kapolsek Mariso AKP Heri Sasengka membantah. Katanya, uang itu untuk biaya visum . Namun ibu korban, Daeng Kanang menuding Heri Sasengka bohong. Soal biaya visum adalah urusan keluarega korban dengan pihak rumah sakit , tangkis Daeng Kanang. Lagi pula keempat polisi yang minta uang itu tidak memakai dalih “biaya visum”. Uang itu menurut Daeng Kanang memang untuk peribadi para polisi itu . Contoh lain, seorang pembantu rumah tangga bernama Nina ditahan oleh polisi dengan dalih membawa senjata tajam . Padahal cuma pisau dfapur. Ia dimintai uang Rp.500.000 untuk pembebasannya (Pedoman Rakyat, 21 Oktober 2001). Contoh lain lagi, yang menunjukkan sikap polisi yang tertutup dan tidak demokratis adalah pengusiran wartawan Kamis malam tanggal 15 Nopember 2001 di Poltabes Makassar . Para wartawan itu bertugas meliput pemeriksaan Bupati Gowa Syaharul Yasin Limpo SH, Msi yang dituduh mengkonsumsi narkoba . Polisi memakai dalih tidak ada izin dari Dispen Polda Sulsel (SCTV, Liputan 6 Petang, Jumat 17 Nopember 2001). Jika berita itu benar maka berarti Polda Sulsel memberlakukan izin bagi media massa . Hal itu bertentangan dengan UU No.40 – 1999 (pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 dan diancam sanksi pidana berdasarkan pasal 18 ayat 1 ).


KEBIJAKAN POLRI DAN TAYANGAN BERITA

A.Muis

Paper ini merupakan lanjutan isi paper saya tanggal 12 Mei 2004 berjudul ” MASALAH TAYANGAN BERITA KRIMINALITAS DI TELEVISI” (isi wawancara saya dengan Radio Nederland tanggal 4 Mei 2004) dan ulasan atas keterangan Waka Divisi Humas Polri, Brigjen (Polisi) Drs. Sunarko, dalam rapat dengar pendapat (hearing) dengan KP3T tanggal 12 Mei 2004 tentang pembentukan Tim Pemantau Pemberitaan TV ditambah ulasan atas kebijakan Kapolda Sulsel, Irjen Polisi Drs Saleh Saaf tentang pembatasan liputan TV dalam operasioperasi penanggulangan kriminalitas oleh polisi di Sulsel. .

1. Menurut Waka Divisi Humas POLRI, Brigjen (Polisi), Drs. Sunarko, keprihatinan KP3T terhadap meluasnya tayangan berita kriminalitas TV yang menonjolkan aspek kekerasan adalah juga keprihatinan POLRI. Karena itu POLRI-lah yang lebih dahulu mengamini upaya KP3T untuk menanggulangi hal itu Kebetulan POLRI telah membentuk Tim Pemantau Pemberitaan TV yang pada intinya bertugas membatasi tayangan berita kriminalitas TV yang menonjolkan kekerasan. Cara yang ditempuh bersifat persuasif . Menurut Waka Divisi Humas Polri teman – teman wartawan dianjurkan untuk tidak ikut meliput operasi penangkapan terhadap para tersangka pelaku kejahatan yang berbentuk paksaan . Juga polisi perlu melindungi keselamatan teman – teman wartawan. Jadi demi ketenangan dan ketertiban masyarakat maka pemberitaan TV mengenai kriminalitas perlu dibatasi. Tetapi cara – cara yang ditempuh menurut Brigjen (Pol) Drs.Sunarko disesuaikan dengan konteks permasalahan di lapangan atau bersifat situasional. Pengertian ini memang agak luas.


2. Sementara itu Kapolda Sulsel, Irjen (Pol) Drs.Saleh Saaf menyatakan kepada wartawan setempat Selasa 18 Mei 2004 bahwa kebijakannya membatasi peliputan TV terhadap kriminalitas tujuannya adalah agar tidak timbul kesan buruk masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menangani kriminalitas. Pembatasan tersebut berlaku pula terhadap wawancara wartawan dengan para tersangka pelaku kejahatan dengan tujuan yang sama.

3 Masalahnya, mengapa pemberitaan kriminalitas di TV yang menonjolkan aspek kekerasan dan sadisme semakin merebak belakangan ini? Mengapa TV beramai-ramai membuat acara - acara siaran kejahatan dalam bentuk film semi cerita atau film semi dokuemnter dengan berbagai macam nama seperti Lacak, Buser, Investigasi, Bidik dsb yang menyajikan berita rekonstruksi

perbuatan pidana (misalnya pembunuhan atau penganiayaan berat) dengan bumbu – bumbu skenario kekerasan dan investigative reporting?

4. Apa akar masalahnya? Sudah pasti tidak bisa luput dari keterlibatan jurnalistik TV yang teknologinya tinggi atau canggih disampaing cara melaksanakan tuntutan kebebasan pers. Kita semua mengetahui, bahwa TV tergolong jenis media massa yang teknologinya tinggi (high tech) , yakni memiliki ciri audio-visual sinematografis yang menciptakan efek identifikasi optik dan identifikasi psikologis bagi khalayak (high touch) Juga era kebebasan pers atau kedudukan pers sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) tidak bisa luput sebagai akar masalah kebebasan pemberitaan TV yang tak seimbang dengan rambu-rambu KEJ/KEWI dan rambu-tambu hukum cq UU Pers dan UU Penyiaran. . Budaya kekerasan (violent culture) yang sudah lama mendominasi perilaku masyarakat kita tak mungkin luput sama-sekali dari cara berpikir para pekerja media massa dan aparat keamanan. Arogansi dan pendekatan kekuasaan aparat keamanan sulit dilepaskan dari peranannya sebagai salah satu akar masalah tayangan kekerasan di TV. Hal itu adalah suatu realitas yang tak terbantah seperti kelihatan dengan sangat jelas dalam tayangan berita SCTV tentang penyerbuan polisi di kampus UMI Makassae tanggal 1 Mei 2004 yang heboh itu.

5. Akar masalah tayangan kekerasan di TV tersebut dapat dihubungkan dengan berbagai teori dan permasalahan atau protes dari banyak pihak.


6. Dari sudut pandang teori jurnalistik laporan mengenai suatu kejadian terutama yang bernilai berita penting ( magnitude, prominence, proximity, oddity, importance, proximity dsb ) seperti kasus UMI Makassar itu lazimnya diuraikan secara rinci dan dikedepankan engel – engel kejadian yang dianggap penting ( untuk TV disebut close up ). Cara seperti itu tampak dengan jelas di dalam liputan SCTV (Iwan Taruna cs) mengenai penyerbuan polisi di kampus UMI Makassar tanggal 1 Mei 2004. Itulah pula cara penerapan fungsi agenda setting dan gatekeeper dalam upaya mempertemukan keinginan SCTV (agenda media ) dengan keinginan pemirsa (agenda khalayak) TV yang memiliki teknologi tinggi (audio-visual sinematografis) tentu saja perngaruh tayangan beritanya sangat tajam bagi pemirsa baik berupa pengtuh kognitif maupun pengaruh opini dan prilaku (proses identifikasi optik dan identifikasi psikologis) Penonton mudah mengalami kemuakan moral atau kemuakan etis dalam menyaksikan kekejaman para penyerbu kampus UMI itu.

7. Kejadian itu mungkin merupakan salah satu alasan bagi Kepala Polisi Daerah Sulsel , Inspektur Jenderal Drs. Saleh Saaf untuk membatasi

pemberitaan TV dalam kasus-kasus kriminalitaa di daerah itu . Tujuannya adalah agar citra polisi dimata masyarakat tidak buruk.


8. Jadi kelihatan ada perbedaan tujuan dan maksud mengenai penolakan terhadap pemberitaaan TV yang menonjolkan kekerasan . Di satu pihak masyarakat dan KP3T bersasma Disvisi Humas Polri “mengharamkan” tayangan kekerasan di TV karena hal itu melanggar etika (KEJ / KEWI) , moral, UU Penyiaran dan UU Pers. Juga tayangan-tayangan kekekrasan di TV

itu mempertontonkan pelanggaran HAM dan Hukum oleh para pelaku kekerasan. Di pihak lain, ada keinginan menyembuyikan prilaku kekerasan aparat terhadap warga masyarakat.


9. Sebenarnya bagi media massa in casu TV tayangan berita kriminalitas yang menonjolkan kekerasan justeru dapat berarti suatu upaya kontrol sosial atau kritik terhadap kekerasan ; ingin membentuk opini publik yang benci terhadap prilaku aparat yang tak terpuji (seperti kasus UMI) . Atau media ingin melaksanakan fungsi pengawasan lingkungan (surveilance of the invironment), yakni mengingatkan masyarakat agar selalu bersikap waspada karena banyak terjadi kekerasan. Hal itu juga sesuai dengan maksud pasal 6 ayat b UU Pers, bahwa masyarakat berhak mengetahui apa yang terjadi dalam lingkungannya termasuk tentang kinerja lembaga-lembaga kekuasaan (public’s right to know). .


10. Berkata Jeremy Bentham . ahli filsafat hukum Inggeris abad 18, bahwa tanpa publisitas mengenai seluruh proses pemerintahan maka perbuatan jahat (evil) akan terus-menerus terjadi; tidak ada pemerintah yang kinwerjanya baik tanpa pengawasan publisistas pers. Juga menurut Joseph Pulitzer hanya ada satu cara untuk mengkuhkan demokrasi, yakni nenberikan infomasi terus-menerus kepada publik tentang semua kejadian di sekitar kita. Jangan ada perbuastan jahat disembunyikan, jangan ada kelicikan, kebohongan, akal-akalan tipu daya dan cara kerja buruk pemerintah yang dirahasiakan. Beberkan semuanya melalui pers, hujat, cemohkan semua perbuatan buruk yang ada melalui pers . Lambat laun opini publik akan menyapu bersih semua keburukan itu


  1. KESIMPULAN.

Dengan demikian, upaya membatasi pemberitaan TV di luar kewenangan UU Penyiaran, UU Pers , KUH-Pidana dan yurisprudensi dapat menimbulkan masalah kebebasan pers. Jika POLRI ingin agar kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota-anggotanya tidak diberitakan oleh TV dan media massa lainnya maka cara yang terbaik adalah menghentikan kebiasaan yang buruk itu Di lain pihak tentu saja TV juga wajib mentaati rambu – rambu hukum dan kode etik jurnalistik dalam memberitakan peristiwa – peristiwa kejahatan agar kebebasan pers tidak rusak.


Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan

MASALAH PERILAKU TV INDONESIA

A.Muis

Para pengelola TV Swasta di Jakarta ternyata kurang mampu atau enggan membenahi acara-acara hiburan mereka yang kurang memenuhi syarat-syarat hiburan yang sehat seperti diharuskan oleh UU Penyiaran. Agaknya hal itu menguntungkan secara ekonomis bagi TV Komersial, tetapi merugikan secara moral dan etika,

Pembuatan UU Anti Pornografi perlu dibarengi temuan teknologi baru untuk melacak sumber kejahatan itu. Kalau tidak maka keberadaan undang - undang itu

tak banyak maknanya. Cyberlaw itu sendiri masih bermasalah di beberapa negara yang teknonolginya masih dalam taraf sedang berkembang termasuk Malaysia yang masih

memakai pengertian development of cyberlaw sejak tahun 1997. Kejahatan dunia maya (cybercrime) memang sangat sulit dilacak. Di Indonesia hukum harus berperan sebagai alat rekayasa sosial ( social engineering ) yang bisa mendorong

aktivitas masyarakat khususnya para pakar teknologi untuk menciptakan teknologi baru yang dapat digunakan untuk mengontrol kebebasan internet sehingga cybercrime termasuk pornografi bisa dihadang.

Tentu menarik untuk diketahui bahwa keberadaan jaringan internet global ( cyberspace ) dengan kebebasannya yang amat luas telah berdampak penyampaian informasi dan hiburan yang menyebar di dalam masyarakat melalui arus komunikasi berlangkah banyak ( multi - step flow of communication ). Itulah sebabnya banyak

acara - acara hiburan yang disiarkan lembaga penyiaran terutama TV dapat dianggap tidak lagi sesuai dengan maksud pasal 36 ayat 6 UU Penyiaran , pasal 282, 532 dan 533 KUH - Pidana dan pasti juga bisa melanggar UU Anti Pornografi kelak. Juga ada yurisprudensi tahun 1950 yang memberikan batasan yang luas terhadap pornografi sehingga mencakup gerak - gerik dan cara berpakaian perempuan yang erotis. Keberadaan jaringan internet global ( cyberspace ) dengan sifat - sifat bebas yang dibawanya telah menghadirkan budaya komunikasi baru yang sangat memuliakan

.kebebasan berekspresi dalam berbagai bentuk. Budaya komunikasi ( media culture ) yang baru itu tentu saja mengobarkan semangat kebebasan media massa termasuk lembaga penyiaran. Perubahan budaya komunikasi itu menjadi salah satu sebab utama maraknya pornografi. Maka menonton pornografi juga dianggap sebuah kebebasan

komunikasi yang merupakan HAM dan memang bukan kejahatan menurut KUH -Pidana maupun menurut UU Penyiaran karena penonton ( audience ) memang bukan

komunikator massa. Hanya dari sudut pandang komunikasi religius hal itu termasuk dosa atau haram hukumnya.

Masalah lain yang menarik adalah pornografi selalu melibatkan perempuan sebagai obyek eksploitasi. Martabat perempuan sangat terlecehkan di dalam pornografi. Tapi realitas menunjukkan bahwa kebutuhan sosial yang berupa hiburan selalu saja melibatkan perempuan sebagai obyek. Film - film cerita kebanyakan memberikan

peranan kepada perempuan sebagai obyek kekerasan dan kejahatan seks. Di samping itu

sejarah juga banyak berbicara tentang hal itu. Arti pornografi menurut bahasa Yunani kuno adalah porne ( perempuan jalang ) dan grapos ( gambar ). Dengan demikan dari sudut bahasa dan sejarah pornografi memang berkonotasi “lukisan perempuan jalang”.

Kalau UU Anti Pornografi memang diperlukan maka sebenarnya lebih perlu lagi diciptakan teknologi baru yang mampu mengontrol cybercrime. Kalau tidak maka UU Anti Pornografi hanya mampu “memasung” TV, radio dan pers. Tetapi sangat sulit menjamah kebebasan internet. Jadi ada ketidakadilan. Padahal baik lembaga penyiaran, pers maupun internet adalah komponen - komponen sistem media baru yang notabene terbentuk oleh keberadaan dunia maya. ..

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang beranggotakan semua TV Swasta di Jakarta itu kini membentuk Komisi Penegakan Pedoman Perilaku TV .Tugasnya adalah menangani berbagai acara TV Swasta yang dianggap kurang senonoh atau menyimpang dari etika penyiaran audio-visual termasuk acara-acara hiburan dan film yang melanggar kesusilaan atau kaidah-kaidah agama. Sambil menunggu UU Anti Pornografi tentulah Komisi itu harus menggunakan dahulu perangkat hukum yang ada sebagai tolok ukur pornografi . misalnya tarian-tarian yang

yang erotis, yakni [pasal 36 UU Penyiaran, pasal 282, 532 dan 533 KUH-Pidana .Kira-kira begitulah. Komisi ini tak bisa bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonwesia (KPI) karena justeru ATVSI tak mengakui keberadaan KPI dan telah mengajukan peninjauan kembali (judicia review) UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi. Kira-kira begitulah.

MENDESAK, UU ANTI PORNOGRAFI.

A.Muis

Pansus DPR-RI sedang membahas RUU Anti Pornografi. . UU yang mengatur pornografi erat kaitannya dengan media massa. Hal itu sesuai dengan definisi terminologis pornografi itu sendiri, yakni diseminasi gambar yang melanggar kaidah-kaidah kesusilaan atau kaidah-kaidah agama , Keberadaan RUU Anti Pornografi tentu dapat pula dikaitkan dengan kejahatan seks yang banyak terjadi belakangan ini . Artinya, keberadaan UU Anti Pornografi mengisyaratkan kemungkinan adanya dampak media massa terhadap perilaku orang-orang (misalnya para penonton TV) yang terlibat dalam kejahatan seperti itu. Dari sudut pandang metodologi penelitian efek media rentu saja hal itu masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu dibuktikan (adanya korelasi positif). .

Adalah Wapres Hamzah Has yang menyatakan, siaran TV banyak menyebarkan pornografi. Hal itu dinyatakan oleh Wapres ketika beliau menjadi khatib shalat Jumat di Mesjid Istiqamah di Jl.Raya Ceger, Jakarta Timur, 5 Juli 2003. Juga do’a penutupan ST-MPR 7 Agustus 2003 berisi keprihatinan yang mendalam tentang meluasnya pornografi di media massa. Adalah pula Menteri Agama Said Agil yang meminta kepada para pengelola TV untuk meniadakan siaran – siaran yang berbau pornografi. Himbauan itu diutarakan Menag dalam pidato menyambut Idul fitri 1424 Hijriah. Prakarsa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tentang perlunya dibuat UU Anti Pornografi dilatar belakangi kenyataan kian meluasnya pornografi di media massa belakangan ini , meskipun tak semua media massa melakukan hal itu.

Dewasa ini seolah - olah terjadi “perang” yang sengit antara kekuasaan hukum dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi khususnya di bidang internet atau

dunia maya ( cyberspace ). Kemajuan teknologi yang luar biasa telah menciptakan komunikasi dunia maya ( cybercommunication ) yang sangat bebas , yang oleh Henry Perritt dijuluki sebagai sebuah jalan raya yang tak bertepi dan tak berujung ( information superhigh way ). Kebebasan jaringan internet ( dunia maya ) ini bukan lagi

hanya masalah HAM dan hukum, karena kalau hanya soal HAM maka itu bisa dibatasi dengan tindakan regulasi. Tetapi kebebasan internet hanya bisa dikontrol dengan

alat elektronik pula. Itu berarti, hukum hanya bisa “mengekor” pada teknologi dalam upaya mengontrol kebebasan dunia maya itu. Hukum tak mampu melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya ( cybercrime ) termasuk pornografi tanpa bantuan teknologi. Baik UU Penyiaran maupun UU Pers dan KUH - Pidana ( pasal 282, 532 dan 533 ) tak akan bisa berbuat banyak dalam melawan pornografi di internet. Secara hukum

pornografi di internet melanggar pasal - pasal KUH - Pidana tersebut, tetapi Hukum Acara Pidananya ( KUHAP ) sulit diterapkan untuk melacak pembuat pornografi di

internet tanpa bantuan teknologi.

Di dalam UU Penyiaran dan UU Pers sebenarnya ada ketentuan yang melarang lembaga penyiaran dan pers menyebarkan isi siaran, berita dan opini yang melanggar norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Masing - masing pasal 36 ayat 6 dan pasal 5 ayat 1. Sanksi pidananya bagi TV 5 tahun penjara atau denda 10 milyar rupiah dan bagi radio juga 5 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah ( pasal 57 ). Sedangkan menurut pasal 5 ayat 1 UU Pers dilarang memberitakan pendapat dan opini ( apa bedanya pendapat dengan opini ? ) yang tidak menghormati norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Sanksinya adalah denda sebanyak lima ratus juta rupiah saja tanpa hukuman badan walaupun pers itu tak mau bayar denda, ( pasal 18 ). Ini menarik. Opini yang membela pornografi tidak boleh diberitakan karena

opini itu tidak menghormati norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Misalnya ada pendapat, bahwa tarian – tarian yang erotis yang dibawakan oleh

perempuan dengan pakaian yang sangat minimum adalah kebebasan berekspresi dan merupakan HAM. Opini yang dimaksud oleh pasal 5 ayat 1 UU Pers dapat merupakan

opini media massa itu sendiri, dapat pula merupakan opini sumber berita. Jika hal terakhir itu terjadi, maka terjadi pula pelanggaran terhadap pasal 5 ayat 1 UU Pers yunto

pasal 55 – 56 KUH - Pidana. yaitu penyertaan dalam perbuatan pidana ( deelneming ). Mungkin pers yang terkait dapat dituduh memberikan kemudahan atau bantuan kepada sumber berita dalam menyebarkan opininya ( medeplichtige ). Hal itu diatur di dalam pasal 56 KUH – Pidana

TV MUSUH PUBLIK ?

A.Muis

Dalam pertemuan antara para pengelola TV swasta yang menjadi anggota Assosiasi TV Swasta Indonesia ( ATVSI ) dengan Komite Penegakan Pedoman Perilaku TV ( KP3T ) beberapa waktu yang lalu muncul istilah yang “ mengagetkan “, yakni TV sekarang menghadapi masyarakat yang membenci isi siaran TV ( public enemy ). Yang “ dibenci “ adalah tayangan – tayangan hiburan yang dinilai vulgar, tayangan – tayangan berita kriminalitas yang bernuansa kekerasan, tayangan – tayangan mistik, iklan yang menyesatkan dan eksploitasi seks.


Kalau TV dihadapkan pada penilaian negatif, dan banyak menerima protes dari berbagai pihak terutama sejumlah LSM, maka hal itu wajar – wajar saja, dan tak perlu terlalu dirisaukan. Bukankah komunikasi massa ( media massa ) itu selalu melibatkan khalayak ( audiences ) yang jumlahnya sangat besar, anonim dan heterogen ? Bukankah isi ( pesan ) media massa bersifat terbuka untuk publik ( offenliche Aussage ) ? Publik atau audience yang begitu banyak dan heterogen dalam berbagai hal, misalnya nilai – nilai budaya dan kerangka pikir ( frame of reference ). Masuk akal jika ada diantara jutaan audiences media massa ( in casu TV ) kelompok – kelompok ( komunitas ) yang tidak senang terhadap isi siaran / pesan TV sebagian atau seluruhnya ( selective perception ). Dimana – mana bisa dilihat adanya kejadian – kejadian seperti itu yang terkait dengan teknologi TV atau yang disebut oleh Annette Hill living media yang menyebarkan tayangan – tayangan hiburan yang menggetarkan penonton ( shocking entertainment ). Ada reaksi negatif dan ada positif. Sedang menurut Prof. George Gerbner bagi masyarakat di dunia maju ( Dunia I ) TV sudah lama menjadi “ agama baru “ ( TV as new religion ). Yang ia maksud, TV sudah menjadi medium sosialisasi yang menstandarisasikan peranan dan perilaku bagi kebanyakan orang. Fungsi TV sudah merupakan fungsi p-embudayaan ( encultration ). Orang belajar mengenal nilai – nilai dari TV ; bagaimana menjalankan peranan di dalam masyarakat, bagaimana berperilaku yang pantas, sifat – sifat apa yang patut dipuji dalam pergaulan. Semua itu dipelajari banyak orang dari TV. Pengaruh TV yang terkesan berlebihan itu tentu saja tidak berlaku di dalam masyarakat – masyarakat yang solidaritas sosialnya bersifat mekanis ( Gemeinschaft ) seperti di Indonesia yang memiliki banyak komunitas atau kelompok – kelompok yang berciri demikian. Peranan TV sebagai medium sosialisasi yang paling kuat seperti kata George Gerbner tersebut terbendung oleh sikap selektif berbagai komuniats yang lebih kuat lagi terhadap isi pesan media massa in casu tayangan – tayangan TV ( selective exposure, perception and retention ). Fenomena itulah yang tercermin di dalam tindakan protes dari berbagai LSM terhadap program – program siaran tertentu di TV.


Memang harus diakui, dalam proses modernisasi di pedesaan yang sedang berlangsung dengan cepat itu ada pengaruh TV yang kadarnya lebih besar daripada radio ( hasil penelitian sebuah team riset komunikasi Unhas tahun 1996 di beberapa desa Sulsel ). Hal itu disebabkan oleh teknologi TV yang lebih tinggi mutunya daripada jenis media lainnya ( high tech high touch ). Tetapi variable modernisasi masyarakat desa itu ternyata lebih terkait dengan kemajuan pengetahuan tentang dunia luar ( cosmopolitan ). Sedang perilaku para warga desa termasuk yang berusia muda pada umumnya tetap dikontrol oleh para pemangku adat dan para pemuka agama ( village opinion leaders ). Kendati telah diterimanya teknologi baru termasuk TV, kendaraan sepeda motor, listrik, peralatan – peralatan rumah tangga modern dan cara berpakaian penduduk kota, dominasi nilai – nilai agama dan tradisi masih kuat. Singkat cerita budaya komunikasi tradisional di Indonesia masih lebih ampuh daripada pengaruh the living media.

MEMAHAMI MAKNA JURNALISTIK INFORMASI HIBURAN

A.Muis

Tepatkah infotmasi yang hanya berisi hiburan (infotainment) masuk kategori jurnalistik (ilmu pemberitaan) ? Apakah hal itu tidak mendangkalkan profesi wartawan menjadi sekadar tukang (alat) penghibur, pembuat gossip dan sensasi? Seperti juga dipertanyakan oleh Cynthia Carter dan Stuart Allan tentang hakekat jurnalistik populer (2000) , bahwa kalau media massa atau jurnalistik mengutamakan hiburan dan sensasi lalu apa hakekatnya? Sekadar kerajinan (craft) atau pertukangan (vocation) belaka tanpa perlu kode etik professi dan pengetahuan akademis? Menurut Neal Garbner (2000) kalau berita mengutamakan unsur hiburan maka sifat berita itu pasti dangkal dan issu utamanya tidak memperoleh perhatian khalayak.

Menurut Cynthia Carter dan Stuart Allan “television news, in the eyes of many critics, is becoming less serious by the day in its search for ever greater audience rating”. Para pengkritik jurnalistik populer dan informasi hiburan (infotainment) lainnya berpendapat bahwa jika sebuah berita sama - sekali tidak memiliki unsur hiburan atau sifat sensasional maka berita itu tidak akan menarik minat khalayak Dengan kata lain isi berita itu akan diredam oleh proses selektif di pihak khalayak dan oleh teori uses and gratifications (U & G).

Menurut Carol Reuss (1999) media pnformasi hiburan ( infotainment media) me;ebih-lebihkan hiburan untuk memberi kegairahan, ransangan, sifat remeh dan sifat sederhana sebuah berita, yang tentu saja dapat membingungkan khalayak. Menurut dia biasanya media informasi hiburan (inforainment media ) menjangkau khalayak yang tidak menggemari media yang serius untuk membuat keputusan tentang apa yang diperlukannya. Dengan demikian media informasi hiburan memang bermanfaat pula bagi orang-orang tertentu , yang tidak memiliki kemauan untuk banyak berpikir ( segmentasi khalayak).


Jurnalistik sensasional.

Pengamat lain, misalnya A.David Gordon (1999) , menyatakan, bahwa jurnalistik informasi hiburan (infotainment journalism) memang ada

juga manfaatnya sebagai informasi. Tetapi tidak dapat menyajikan pengetahuan ilmiah yang memadai (knowledge) bagi khalayak.

Sensasionalisme yang melekat pada informasi jenis itu cenderung menimbulkan respons yang berrsifat emosional dan personal dari khalayak, bukan respons yang bersifat pemikiran (reasoned response). Materi berita yang sensasional justeru membatasi pemberian pengalaman bagi khalayak untuk dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena yang diutamakan adalah stimulasi atau ransangan perasaan atau emosi. Jika dirinci pendapat David Gordon itu maka stimulasi emosi dapat berwujud rasa gairah, senang (amused), terharu, ngeri, sedih, takut, terpesona, geram, muak, jijik, atau benci, David Gordon menyingkatkan makna jurnalistik infotainment sebagai cara pemberitaan yang mampu membangkitkan (elicit) “emotional

or sensory stimulation“.

Gossip , selentingan, rumor, dan kejadiaan- kejadian langka. dahsyat, aneh, adalah beberapa menu utama atau nilai berita penting (magnitude, prominence, oddity ) bagi jurnalis infotainment Itulah sebabnya cara pengambilan angel obyek liputan , penggunaan kata-kata, istilah – istilah (dictions) di dalam jurnalistik jenis itu juga “aneh-aneh”, penuh sensasi. Misalnya minggatnya seorang arris perempaun dari suamnya, penyiksaan seorang selibiritis laki-laki terhadap isterinya yang juga selibiritis, dan semacamnya, yang dibunbui narasi , komentar-komentar, yang dramatis. Termasuk pula tindakan “aneh-aneh” jurnalis jenis itu dalam upaya mencari kejadian-kejadian atau orang-orang yang layak berita (newmakers) tertentu seperti mengetuk-ngetuk pintu mobil obyek berita dan sekali-sekali mengikuti cara-cara paparazzi.

Lantas, bagaimana pula memahami hakekat liputan seorang kamerawan amatir , Syamsul (?) , yang berhasil mengabadikan saat-saat terjadinya gelombang sunami , peristiwa alam yang luar biasa itu , di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 ? Kameranya disorotkan dari aras , dari tempat wudu Mesjid Raya Baitul Rahman Banda Aceh. Hasil liputan yang sarat nilai berita penting itu (magnitude, oddity, global proximity) kemudin disiarkan oleh Metro-Tv berkali-kali.

Peranan jurnalistik televisi.


Disiarkannya kejadian itu melalui media penyiaran yang bersifat audio-visual sinematografis (living media) membuat kejadian luar biasa itu seakan-akan dialami sendiri oleh jutaan penonon TV (optic identification).Gelombang dahsyat itu nampak memyapu apa saja termasuk mamnusia, menjungkir-balikkan mobil – mobil, balok-balok kayu, pohon-pohon dan dahan-dahan kayu, dibarengi suara gemuruh yang dahsyat, teriakan histeris manusia dan orang-orang memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Semua kejadian itu pasti membuat penonton terkesima, terharu, ngeri, sedih, pilu, merasa tak berdaya menghadapi kekuasaan Allah Swt (dampak media audio-visual yang dikenal dengan istilah psychological identification sebagai kelanjutan optic identification).

Jelas, liputan audio-visual itu menonjolkan sifat-sifat sensasional dan mendorong respons emosional dari khalayak. Gelombang sunami yang masuk di mesjid itu ternyata tidak bergejolak sedikitpun menurut keterangan kamerawan amatir itu kepada Metro-TV. Hal itu menambah sifat sensasuonal (keajaiban) peristiwa berita (news event) yang luar biasa itu. Maka tanpa disengaja, berita itu memiliki ciri-ciri (mirip) infotainment.

Agaknya benarlah definisi Prof. Roland E. Woleseley dan Prof.Laurence R. Campbell “tempo doeloe” (1949) bahwa jurnalistik adalah diseminasi informasi, opini dan hiburan dengan cara sistematik dan dapat dipercaya melalu media massa modern. Yang dimksud media massa “modern” waktu itu tentu barulah media cetak, media penyiaran radio dan film berita (newsreels).

Dengan demikian jurnalistik memang memiliki pula fungsi hiburan. Hal itu sejalan dengan fungsi media massa yang mencakup fungsi hiburan. Juga perlu difahami, bahwa media massa tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya (informasi, edukasi dan hiburan ) tanpa jurnalistik.

Dapatlah ditarik kesimpulan singkat, bahwa jurnalistik informasi hiburan (infotainment journalism) memang bermanfaat bagi masyarakat . Tetapi unsur hiburannya dan / atau sensasionalismenya hanyalah sebagai sarana (alat) atau “bumbu penyedap” untuk menarik minat khalayak (audience) guna memasuki masalah pokok yang diberitakan. Infotainment bukanlah tujuan jurnalistik dan media massa.

Tragedi Hukum dan Politik 12 Pebruari 2004

A.Muis

Kasus Akbar Tandjung merupakan berita terbesar di awal tahun 2004 ini di samping kasus Kampar, demam berdarah, gempa bumi, banjir dan Pemilu. Di dalam kasus Akbar Tandjung semua nilai berita menonjol. , terutama keluarbiasaan ( magnitude ), ketegangan ( suspense ), keanehan ( oddity ) atau sifat kontroversil dan kemashuran atau ketenaran sosok Akbar Tandjung ( prominence ).

Faktor – faktor itulah yang menjadi penyebab utama bergesernya kasus hukum Akbar Tandjung ini kepada masalah politik yang besar. Protes – protes masyarakat dan mahasiswa terhadap putusan MA tanggal 12 Februari 2004 yang membebaskan Akbar Tandjung sarat dengan nada komunikasi politik. Ternyata pula aksi unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota di Indonesia itu berdarah – darah memancing pelanggaran HAM khususnya di Jakarta dan di Makassar. Kejadian itu menunjukkan kenyataan masih digunakannya pendekatan kekuasaan represif terhadap aksi – aksi unjuk rasa mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa atau warga masyarakat yang mengajukan protes sosial adalah sebuah bentuk komunikasi politik. Kebebasan komunikasi termasuk komunikasi politik adalah HAM. Semua bentuk tindakan represif terhadap aksi demonstrasi yang mengajukan protes sosial adalah pelanggaran HAM. ( Bab XA UUD’45 )

Dampak politik dan psikologis dari pengumuman putusan MA tgl 12 Februari 2004 itu memang cukup luas. Opini publik yang dibentuk oleh pengumuman putusan itu melalui pemberitaan pers seakan – akan hendak “menghakimi” AT dan seakan – akan ingin “mengambilalih” tugas MA.

Tidak kurang dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan kepada para wartawan tgl 14 Februari 2004 “bahwa MA tidak jujur”. Roy B. B. Janis, anggota DPR dari PDI-P menyatakan putusan MA itu bisa menjadi bumerang bagi partai Golkar dalam Pemilu 2004 ini. Sedang Ketua MPR Amien Rais kurang lebih menyatakan, polisi, jaksa, dan hakim bisa meloloskan perkara pidana ; hanya Allah SWT yang tidak bisa diajak meloloskan perbuatan yang buruk.


Elite politik lainnya berpendapat, sebaiknya kita dapat memahami putusan MA dan menurut Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya masalah ini diserahkan kepada kewenangan MA. Tetapi pihak Kejakgung dan para hakim pertama dan para hakim tinggi yang menghukum AT menyatakan AT bersalah karena bukti – bukti cukup Kejaksaan Agung akan mengajukan permohonan PK kepada MA.

Ada “keputusan sejarah” menurut Benyamin Mangkudilaga kepada RCTI tgl 12 Februari 2004. Mantan Hakim Agung itu mengemukakan, majalah Tempo menang di PTUN dan di PTTUN. Tetapi dihukum oleh MA. Itu tahun 1996 – 1998. Tahun 1998 sejarah berkata lain. Tahun 1999 Tempo “dimenangkan” oleh sejarah. Kasus Tempo kebalikan kasus AT. Lalu kapan sejarah akan membuat keputusan lain ? Menurut Benyamin Mangkudilaga “pada Pemilu nanti”. Tentu prediksi politik ini bisa saja benar – benar terjadi jika Tuhan meridhoinya. Pemberitaan pers dan penyiaran khususnya TV

( yang secara teknologi sangat tajam pengaruhnya ) terus meluas membawa dampak politik putusan MA itu. Protes mahasiswa pun meningkat. Ada pembakaran keranda orang mati, ada penurunan bendera merah putih setengah tiang dan simbol – simbol komunikasi politik lainnya yang mengisyaratkan “kematian” supremasi hukum di negara ini.

Protes mahasiswa yang selalu bekerja saama dengan media massa, yang merupakan dua pusat keunggulan ( centre of exelence ) tak lupa pula memberitakan protes keras mahasiswa terhadap kepolisian yang dianggap melakukan kezaliman

( penganiayaan berat ) terhadap teman – teman mereka. Ada kejadian yang menarik dan langka. Mahasiswa menolak bantuan biaya pengobatan dari pihak kepolisian dan meminta agar uang itu digunakan untuk memperbaiki mental polisi. Yang dimaksud tentulah oknum – oknum polisi – polisi yang melakukan penganiayaan terhadap teman – teman mereka. Namun pepatah lama tak pernah usang satu yang berbuat semua kena (pars prototo )

Bagaimanapun pers dan media massa lainnya telah turut melaksanakan fungsi informasi dan kontrol sosial dalam kasus AT atau tragedi 12 Februari ini dengan baik. Artinya, mematuhi hukum – hukum jurnalistik seperti rumus 5W + H, rumus etika berita accurate, fair & true ( AFT ) dan teori – teori tentang objective reporting, jurnalistik kemasyarakatan, ( civic journalism ) dan jurnalistik perdamaian ( peace journalism )

Dari kasus AT ini muncul gejala kesenjangan yang lebar antara opini publik dan pemerintah tentang cara – cara penegakan hukum. Di satu pihak pemerintah cenderung sangat yakin akan kejujuran lembaga peradilan termasuk dukungan atas cara – cara polisi menangani demonstrasi mahasiswa. Tetapi di pihak lain masyarakat selama ini hampir tidak pernah benar – benar yakin akan kejujuran lembaga peradilan dan sering memprotes cara – cara polisi menangani pengunjuk rasa yang sering represif. Itulah pula yang terjadi dengan kasus AT yang dramatis ini.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap MA sudah terlanjur parah sehingga walaupun “benteng terakhir” keadilan ini berupaya berlaku adil, jujur dan professional, masyarakat tetap ragu. Kasus Akbar Tandjung kian memperparah sikap apriori masyarakat terhadap kinerja MA. Sikap apriori masyarakat itu banyak tercermin di dalam aksi – aksi demo mahasiswa dan LSM. Oleh media massa diberitakan, mahasiswa akan menggelar apa yang mereka namakan “Pengadilan Rakyat” untuk “mengadili” AT. Pada tgl 17 Februari 2004 menurut berita media massa sejumlah LSM di Yogya mengadakan demonstrasi anti Orde Baru berlokasi di Kampus UGM. LSM menilai putusan MA itu “anti reformasi”dan berbau Orde Baru. Nuansa komunikasi politik dari demo LSM ini amat menonjol jam 23.00 menggelar diskusi panel. Putusan MA itu kian lama kian berbau nuansa politik karena pihak yang kontra kian banyak tanpa memikirkan lagi aspek teknis yuridisnya. Diskusi panel yang diadakan SCTV Rabu malam tgl 18 Februari 2004 cenderung mengkritisi putusan MA itu sebagai preseden bururk, yaitu pejabat yang menerima instruksi dari atasan bebas dari tanggungjawab pidana meski ia melakukan kejahatan dan atasan yang memberikan instruksi juga tidak dikenakan tanggungjawab.

Berarti AT dikuasai oleh daya paksa dari luar dirinya sehingga terpaksa melakukan

perbuatan pidana dan menurut pasal 48 KUH Pidana ia tidak dapat dibebani tanggungjawab, orang yang mengalami paksaan demikian disebut tangan yang mengabdi ( manus ministra ). Sedangkan pihak memaksa yang disebut tangan yang merajai ( manus domina ), harus bertanggungjawab menurut maksud pasal 55 ( 2 ) KUH Pidana. Logika hukumnya demikian. Dari harian ke harian kian banyak pihak yang memprotes putusan MA itu yang dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara itu, kalangan pejabat tak jemu – jemunya menyatakan, putusan MA itu “harus dihormati”. Dihormati belum tentu “disepakati”. Ihwal yang jelas tak mustahil Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan dalam menerima permohonan kasus AT karena para Hakim Agung yang terlibat adalah manusia biasa. Sedangkan para Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi bisa saja benar dalam menghukum AT jika para hakim pertama dan para hakim banding yang terkait mengikuti perintah suara hati nurani mereka. Masalah yang berat adalah hilangnya dengan tiba – tiba kepercayaan sebagian masyarakat terutama mahasiswa ( centre of exellence ) kepada MA.

SISTEM MEDIA MASSA NASIONAL BUTUH PERUBAHAN

A. Muis
(menyambut Hari Kebebasan Pers Dunia 3 Mei 2004)

Makna world press freedom day 3 Mei adalah imbauan dan peringatan kepada semua negara agar memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kebebasan pers. Memang hanya sebatas imbauan karena tak ada keseragaman pengertian tentang kebebasan media massa di seluruh dunia . Sistem pers atau sistem media di masing-masing negara biasanya dipengaruhi oleh sistem politik di negara-negara itu. Sedangkan sistem politik itu sendiri berbeda-beda di masing-masing negara. Bisa pula sistem politik sama , tetapi berbeda dalam hal budaya komunikasi, kebijakan negara atas media (media policy) atau sistem hukum media (media law). .


Di Indonesia , misalnya, UU Pers, UU Penyiaran dan pasal-pasal KUH-Pidana yang mengatur delik-delik komunikasi massa dan pers kini berada pada tahap perkembangan yang kurang cerah dan ambiguous . Di satu pihak aspirasi kebebasan media nasional sangat diwarnai semangat kebebasan dunia maya (cyber space) atau globalitas, sebuah bentuk kebebasan tanpa batas – batas negara. Kebebasan seperti itu tercermin di dalam UU No.40 – 1999 tentang pers. . Sedang di lain pihak, undang – undang lain (selain UU Pers ) dan sistem politik nasional yang sedang berubah dari sistem otoriter ke demokrasi masih menyimpan teori media otoriter atau teori media pembangunan yang sangat membatasi kebebasan media secara represip (pre - publication penalty) Hal itu jelas kelihatan dalam UU No.32 – 2002 tentang penyiaran, pasal 154 – 155, pasal 207 – 208 KUH-Pidana dan pasal XIV-XV UU No.1 – 1946. , UU Penyiaran mengharuskan lembaga penyiaran memiliki izin siaran, padahal sudah ada izin frekuensi (gelombang elektro magnetik) bagi lembaga itu. Berarti ada dua lapis izin yang tentu sangat memberatkan lembaga penyiaran. Izin penyiaran (pasal 33) dalam UU No.32 – 2002 tak ada bedanya dengan izin penyiaran dalam UU No.27 – 1996 yang notabene dianggap tidak sesuai dengan kebebasan pers .Atau sama saja dengan SIT atau SIUPP dalam UU Pers Orde Baru.No.21 – 1982.. Padahal sistem politik negara ini bukan lagi sistem otoriter , melainkan sistem demokrasi atau sedang dalam proses demokratisasi. Begitu pula delik-delik penyebar kebencian (pasal 154-155, 207-208 KUH-Pidana dan pasal XIV-XV UU No.1 – 1946 tentang berita bohong yang menimbulkan keonaran masyarakat , jelas bersifat represip karena rumusannya terlampau luas.

Dengan demikian sistem hukum media nasional ternyata semrawut. Kesemrawutan itu jelas kelihatan dalam hubungan antara UU Pers dengan UU Penyiaran dan UU Hukum Pidana. UU Pers menganut arti pers yang luas, yakni mencakup media penyiaran (radio dan TV) dan film berita (newsreels ) Hal itu dipertegas oleh pasal 1 ayat 1 dan 2, dan pasal 4 ayat 2 UU Pers . Juga diakui oleh UU Penyiaran dalam

Konsideran “Mengingat” ayat 8. dan pasal 42 tentang kegiatan jurnalistik penyiaran yang diharuskan tunduk kepada undang-undang yang berlaku (UU Pers dan KUH-

Pidana) dan kepada Kode Etik Jurnalistik yang juga berlaku pada jurnalistik cetak. Tetapi UU Penyiaran justeru bertentangan dengan UU Pers yang diakuinya sendiri. UU Pers tidak membolehkan tindakan pemasungan atau pembatasan kebebasan secara represip, termasuk perizinan dan larangan penyiaran (pembreidelan) dan sensor. Tetapi UU Penyiaran bukan saja membolehkan larangan penyiaran (sejenis pembreidelan), melainkan juga mengharuskan izin penyiaran yang ang berarti bisa disusul dengan pencabutan izin dan sejumlah bentuk tindakan sensor dalam arti luas atau imprimatur menurut terminologi Gereja Katolik dahulu (Pasal 33 yunto pasal 55 UU Penyiaran) . Hal itu tentu saja bertentangan dengan pasal 28F UUD-45 dan pasal 19 DUHAM 1948 yang mengharuskan pembatasan kebebasan media massa secara post-publication penalty.

Ketentuan UU Pers pun berlebihan karena undang-undang ini a juga mencakup pamflet, sepanduk dan semacamnya pahal sudah ada UU No.19 – 1998 yang mengtur saluran-saluran komunikasi publik seperti itu.


Pembentukan KPI juga tidak konstitusional karena predikatnya sebagai lembaga negara yang “indepeden” tidak ditemukan di dalam UUD-45. Luasnya fungsi dan kewenangan (kekuasaan) yang dimilikinya pun tak tanggung – tanggung , sangat luas. KPI tak lebih dari lembaga eksekutip atau perpanjangan tangan (verlengstuk) pemerintah yang pada hakekatnya dapat memasung kebebasan pers Jika diikuti beberapa model pengaturan lembaga penyiaran di manca negara maka lembaga yang tepat adalah semacam Dewan Penyiaran (semacam Dewan Pers) yang berfungsi sebagai advisory body, bukan regulatory body.


Bagaimanapun juga , perlu dilakukan pembaruan sistem hukum media nasional bukan saja untuk memenuhi tuntutan konstitusi (UUD-45), melainkan juga untuk mengindahkan peringatan world press freedom day 3 Mei..