Selasa, 01 April 2008

MASALAH PERILAKU TV INDONESIA

A.Muis

Para pengelola TV Swasta di Jakarta ternyata kurang mampu atau enggan membenahi acara-acara hiburan mereka yang kurang memenuhi syarat-syarat hiburan yang sehat seperti diharuskan oleh UU Penyiaran. Agaknya hal itu menguntungkan secara ekonomis bagi TV Komersial, tetapi merugikan secara moral dan etika,

Pembuatan UU Anti Pornografi perlu dibarengi temuan teknologi baru untuk melacak sumber kejahatan itu. Kalau tidak maka keberadaan undang - undang itu

tak banyak maknanya. Cyberlaw itu sendiri masih bermasalah di beberapa negara yang teknonolginya masih dalam taraf sedang berkembang termasuk Malaysia yang masih

memakai pengertian development of cyberlaw sejak tahun 1997. Kejahatan dunia maya (cybercrime) memang sangat sulit dilacak. Di Indonesia hukum harus berperan sebagai alat rekayasa sosial ( social engineering ) yang bisa mendorong

aktivitas masyarakat khususnya para pakar teknologi untuk menciptakan teknologi baru yang dapat digunakan untuk mengontrol kebebasan internet sehingga cybercrime termasuk pornografi bisa dihadang.

Tentu menarik untuk diketahui bahwa keberadaan jaringan internet global ( cyberspace ) dengan kebebasannya yang amat luas telah berdampak penyampaian informasi dan hiburan yang menyebar di dalam masyarakat melalui arus komunikasi berlangkah banyak ( multi - step flow of communication ). Itulah sebabnya banyak

acara - acara hiburan yang disiarkan lembaga penyiaran terutama TV dapat dianggap tidak lagi sesuai dengan maksud pasal 36 ayat 6 UU Penyiaran , pasal 282, 532 dan 533 KUH - Pidana dan pasti juga bisa melanggar UU Anti Pornografi kelak. Juga ada yurisprudensi tahun 1950 yang memberikan batasan yang luas terhadap pornografi sehingga mencakup gerak - gerik dan cara berpakaian perempuan yang erotis. Keberadaan jaringan internet global ( cyberspace ) dengan sifat - sifat bebas yang dibawanya telah menghadirkan budaya komunikasi baru yang sangat memuliakan

.kebebasan berekspresi dalam berbagai bentuk. Budaya komunikasi ( media culture ) yang baru itu tentu saja mengobarkan semangat kebebasan media massa termasuk lembaga penyiaran. Perubahan budaya komunikasi itu menjadi salah satu sebab utama maraknya pornografi. Maka menonton pornografi juga dianggap sebuah kebebasan

komunikasi yang merupakan HAM dan memang bukan kejahatan menurut KUH -Pidana maupun menurut UU Penyiaran karena penonton ( audience ) memang bukan

komunikator massa. Hanya dari sudut pandang komunikasi religius hal itu termasuk dosa atau haram hukumnya.

Masalah lain yang menarik adalah pornografi selalu melibatkan perempuan sebagai obyek eksploitasi. Martabat perempuan sangat terlecehkan di dalam pornografi. Tapi realitas menunjukkan bahwa kebutuhan sosial yang berupa hiburan selalu saja melibatkan perempuan sebagai obyek. Film - film cerita kebanyakan memberikan

peranan kepada perempuan sebagai obyek kekerasan dan kejahatan seks. Di samping itu

sejarah juga banyak berbicara tentang hal itu. Arti pornografi menurut bahasa Yunani kuno adalah porne ( perempuan jalang ) dan grapos ( gambar ). Dengan demikan dari sudut bahasa dan sejarah pornografi memang berkonotasi “lukisan perempuan jalang”.

Kalau UU Anti Pornografi memang diperlukan maka sebenarnya lebih perlu lagi diciptakan teknologi baru yang mampu mengontrol cybercrime. Kalau tidak maka UU Anti Pornografi hanya mampu “memasung” TV, radio dan pers. Tetapi sangat sulit menjamah kebebasan internet. Jadi ada ketidakadilan. Padahal baik lembaga penyiaran, pers maupun internet adalah komponen - komponen sistem media baru yang notabene terbentuk oleh keberadaan dunia maya. ..

Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) yang beranggotakan semua TV Swasta di Jakarta itu kini membentuk Komisi Penegakan Pedoman Perilaku TV .Tugasnya adalah menangani berbagai acara TV Swasta yang dianggap kurang senonoh atau menyimpang dari etika penyiaran audio-visual termasuk acara-acara hiburan dan film yang melanggar kesusilaan atau kaidah-kaidah agama. Sambil menunggu UU Anti Pornografi tentulah Komisi itu harus menggunakan dahulu perangkat hukum yang ada sebagai tolok ukur pornografi . misalnya tarian-tarian yang

yang erotis, yakni [pasal 36 UU Penyiaran, pasal 282, 532 dan 533 KUH-Pidana .Kira-kira begitulah. Komisi ini tak bisa bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonwesia (KPI) karena justeru ATVSI tak mengakui keberadaan KPI dan telah mengajukan peninjauan kembali (judicia review) UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi. Kira-kira begitulah.

Tidak ada komentar: