Minggu, 06 April 2008

Membangkitkan Kembali Semangat Kemerdekaan Pers

(Menyongsong Seminar dan Pertemuan Mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Indonesia di Jakarta tgl 14 -19 Desember 2003, dengan Tema “Realitas Globalisasi Media Massa: Dalam Fungsinya Untuk Demokratisasi dan Pemberdayaan Publik” . Tulisan ini mencoba mengkaitkan tema tersebut dengan kasus Tempo yang tragis dan kontroversial itu.)

A.Muis

Kasus majalah Tempo sangat penting artinya sebagai sebuah evaluasi tentang keadaan pers nasional dewasa ini terutama soal kemerdekaannya/kebebasannya. Banyak pihak menilai, kinerja pengadilan dalam kasus Tempo yang sangat kontroversial ini merosot dan berakibat pemasungan baru terhadap kebebasan pers (Kompas, 1/10-03, Terbit 1/10-03, RRI-Pro II 3/10-03, The Jakarta Post 24/10-03).

Implikasinya adalah perlunya pemahaman kembali tentang hakekat kemerdekaan pers, kaitannya dengan demokrasi dan pemberdayaan publik. Adalah John Hulteng dan Roy Nelson (1971) yang menyatakan, di negara-negara demokrasi, rakyat hanya bisa memiliki potensi apabila ada akses yang luas bagi mereka kepada arus berita pers yang jujur dan tidak disensor tentang kejadian-kejadian di dalam negeri dan di seluruh dunia. Salah satu urgensi keberadaan media massa adalah untuk mempertahankan kebebasan rakyat dalam melaksanakan demokrasi (democratic-freedoms). Di negara demokrasi, demikian gagasan Nelson dan Hulteng, pers dan demokrasi atau potensi publik adalah ibarat dua sisi sebuah mata uang.

Juga Jeremy Bentham, ahli filsafat hukum abad 18, menyatakan, tanpa publisitas pers tentang seluruh kegiatan pemerintah di sebuah negara demokrasi maka keburukan akan menjadi permanen; tetapi jika ada pengawasan publisitas-pers maka pikiran jahat tak akan terjadi terus menerus di pemerintahan. Tak mungkin ada kinerja pemerintah yang baik tanpa bantuan publisitas pers. Karena rakyat atau publik tak dapat menilai jalannya pemerintahan tanpa informasi yang lengkap dari pers.

Pers Tanpa Pemerintah?

Pemahaman yang sama mendorong Thomas Jefferson membuat komentar yang sering dikutip tentang peranan pers di negara demokrasi: “Were it left to me to decide whether we should a government without newspaper or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to refer the letter” (dalam buku The Four Estate, 1971). Pers (dan media massa lainnya tentu saja) oleh seorang pendekar hukum Belanda, Kirk Donker Curtius (1883) dijuluki “Ratu Bumi” (de koningin der aarde) karena pers lebih mampu menerangi akal, pikiran, dan hati manusia daripada pemerintah. Istilah populer saat ini adalah “mencerdaskan bangsa”.

Juga pada abad yang lalu, seorang pendekar hukum dan demokrasi dari Phildelphia, AS, David Hemilton, mengungkapkan, bahwa perkara delik pers yang melibatkan elite kekuasaan atau elite sosial pasti terlibat pula didalamnya soal kebebasan pers, soal demokrasi dan hak-hak publik untuk memperoleh informasi (public’s right to know). Dalam tiap delik pers terlibat pula fungsi kontrol, kritik, koreksi yang dimiliki pers. Khusus delik pers yang melibatkan elite sosial dan elite politik tentu terlibat pula fungsi watchdog yang dimilik pers terhadap jalannya pemerintahan dan pelaksanaan demokrasi.

Jika pengadilan, demikian gagasan Hemilton, mengabaikan faktor-faktor eksistensi pers tersebut, berarti pengadilan pun mengabaikan demokrasi dan hak publik untuk memperoleh informasi terutama dari media massa.

Pengadilan versus UU Pers

Justru itulah yang terjadi dengan kasus majalah Tempo yang sarat keanehan itu. Pengadilan Negeri Jaksel mengabaikan semua faktor eksistensi pers tersebut yang justru semuanya ada di dalam UU Pers. Berarti pengadilan mengabaikan kekuasaan Undang-Undang yang khusus mengatur pers (Kompas,1/10-03, Terbit 1/10-03,RRI Pro-II 3/10-03). Penyimpangan pengadilan dari UU Pers terjadi baik dalam kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo maupun dalam kasus delik persnya (tuduhan “pencemaran nama baik” pihak penggugat. Dalam kasus pertama PN Jaksel membebaskan satu tersangka dan menjatuhkan hukuman percobaan bagi tersangka lainnya. Hal itu bisa bermakna pembenaran atas pelanggaran pasal 4 ayat 3 UU Pers yang dapat dikaitkan dengan tindakan para mantan tersangka/terpidana ringan.

Dalam kasus kedua PN Jaksel meletakkan sita jaminan atas harta kekayaan (rumah) Goenawan Mohammad, wartawan senior dan pendiri majalah Tempo (dan hampir juga terseret kantor redaksi Tempo). Timbullah masalah kepatuhan/kelayakan penetapan itu dan lagi-lagi muncul konotasi bahwa pengadilan seakan-akan bertindak sebagai lembaga pemasungan pers (imprematur) karena pasal 4 ayat 3 UU Pers terlanggar.

Dalam kasus pertama (kekerasan terhadap wartawan Tempo) mestinya pengadilan tak cuma menggunakan pasal-pasal penganiayaan dalam KUH-Pidana, tetapi juga dipakai pasal 4 ayat 3 UU Pers (asas konkursus realis). Sedangkan untuk kasus kedua (pencemaran) penetapan sita jaminan perlu pertimbangan mengenai keberadaan pasal 4 ayat 3, karena dengan penetapan conservation beslag itu aktivitas Tempo bisa terpasung. Jika Tempo terpasung berarti kebebasan pers nasional terpasung.

Tidak ada komentar: