Minggu, 06 April 2008

Pers Nasional Vs Presiden Megawati

A.Muis

Menyambut HPN 09/02-2003 (bagian I)

Kecaman Presiden Megawati terhadap media massa khususnya pers (media cetak) tidak hanya terjadi sekali dua kali. Sebelum peristiwa Selasa, 21 Januari 2003 yang heboh itu, Presiden juga sudah pernah menuding pers nasional "kebablasan", membesar-besarkan (blow up) kejadian dan melakukan pelintiran fakta. Misalnya, ketika Presiden Megawati menerima utusan pengurus-pengurus Ikatan Pemuda NU tanggal 08 Juli 2002 di Istana Negara. Presiden menuding pers nasional sudah "kebablasan". Pihaknya merasa, banyak statementnya yang ditulis atau disampaikan oleh pers kepad a masyarakat tidak seperti apa yang ia ucapkan. Menurutnya, pers begitu gampang memutarbalikkan kejadian. Tetapi pihaknya memilih diam saja dalam menghadapi pers seperti itu, katanya kepada pengurus IPNU. Namun ia minta agar dirinya dihargai. Mestinya, menurut Presiden, ke depan pers bisa menyampaikan apa-apa yang bisa mencerdaskan bangsa. Pihaknya bisa menerima kritik apapaun asal disampaikan dengan santun dan sistematis. Sebagai aktivis, Mega tidak merasa risih kalau dikritik, asal caranya benar.

Dalam suatu kesempatan, tanggal 21 Januari 2003 yang lalu, Presiden Megawati kembali mengecam kinerja pers nasional yang ia nilai "nyomplang" (tidak berimbang), "njlimet "dan "ruwet", tidak adil. Menurut Presiden pers cenderung selalu menyudutkannya. Reaksi keras yang diperolehnya bukan cuma dari kalangan wartawean dan para pengamat pers, tetapi juga dari Ketua MPR, Amin Rais. Menurut Ketua MPR, kecaman Mega itu mestinya atas nama pribadi saja, bukan dalam kapasitas Kepala Negara atau Presiden. Sebab kalau ia melontarkan kecaman terhadap pers sebagai presiden, maka bisa berakibat kembalinya politik otoritarian di bidang pers seperti halnya pada zaman Orde Baru yang mengharuskan pers seragam dengan pendapat atau keinginan pemerintah. Reaksi Ketua MPR itu pada sisi lain dapat bermakna "kampanye" pemilihan presiden dan pemilu 2004.

Banyak reaksi berisi "penjelasan" kepada Presiden Megawati, bahwa pers melaksanakan fungsi kontrol sosial dan kritik terhadap pemerintah. Pasti Presiden Megawati mengetahui pula fungsi kontrol dan kritik yang dimiliki pers. Ihwal yang ia persoalkan rupanya adalah cara pers melaksanakan fungsi tersebut yang ia nilai "tidak adil", "tidak berimbang", "kebablasan", dan melakukan "pelintiran" fakta atau kata-kata.


Distorsi Komunikasi

Seorang anggota DPR-RI juga pernah mengatakan kepada saya bahwa pernyataan-pernyataannya pun sering dipelintir oleh pers. KH Abdurrahman “Gus Dur” Wahid ketika menjadi presiden juga sering menuduh pers melakukan character assasination dengan memutarbalikkan fakta. Tetapi Gus Dur melangkah lebih dekat pada pers dengan menjadikan pertemuan konsultasi dengan para pemred media masa di Jln. Utan Kayu 68 H sebelum ia dilengserkan oleh MPR. Gus Dur juga merencanakan pembentukan sebuah badan konsultasi permanen yang beranggotakan wakil-wakil media massa dan pemerintah untuk mengatasi distorsi komunikasi antara pers dengan pemerintah. Padahal sudah ada beberapa jubir yang bertugas menjelaskan kebijaksanaan-kebijaksanaannya kepada masyarakat.

Salah satu kelemahan utama Presiden Megawati adalah sikapnya yang “anti” jubir, padahal fungsi jubir kepresidenan itu amat vital. Paling sedikit untuk memperkecil miskomunikasi atau distorsi komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat dan dengan DPR/ MPR.


Anti “fair comment and criticism

Teori jurnalisme Barat memperkenalkan arti komentar dan penilaian (kritik) yag jujur. Semua orang, organisasi atau institusi yang bekerja untuk kepentingan umum harus tunduk pada penilaian masyarakat. Jadi, lembaga pers dan penyiaran juga harus tunduk pada kritik yang fair dari masyarakat. Media massa adalah sebagai subjek dan objek kritik. Sama dengan lembaga legislatif dan lembaga-lembaga publik lainnya termasuk ornop-ornop adalah subyek dan obyek kritik yang jujur (fair). Media massa tak cuma memiliki fungsi dan kontrol sosial, tetapi juga wajib menerima kritik atau penilaian dari masyarakat karena media massa bekerja untuk kepentingan umum. Hal itu jelas kelihatan dalam ketentuan Hak Jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat yang wajib dilaksanakan oleh media massa baik menurut UU Pers, UU Penyiaran, maupun menurut KEJ.

Sementara seorang presiden adalah ibarat puncak sebuah pohon yang tinggi. Otomatis mendapat lebih banyak terpaan angin dibandingkan dengan pohon-pohon yang lebih rendah. Maka, sah-sah saja kalau seorang Presiden atau Perdana Menteri (PM) mendapat banyak kritik dari rakyat dengan berbagai macam cara. Kritik, penilaian atau kontrol sosial lewat media massa adalah yang paling komprehensip karena media massa atau publisistik media (pers) memiliki ciri publisitas (terbuka untuk umum) dan universalitas (berisi banyak macam hal untuk banyak orang). Bahasa Belandanya: veelzeidig van inhoud, atau banyak macam isinya. Lagian, media massa di negara-negara demokrasi memiliki kedudukan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate) atau pilar demokrasi yang keempat.

Ihwal yang penting, kritik itu harus fair. Bagi media massa yang dimaksud “fair criticism” ukurannya tidak melakukan pelintiran kata-kata, pemutar-balikan fakta dan tidak menyimpang dari rumus 5 W + H, tidak langgar norma-norma KEJ.(060203)

Tidak ada komentar: