Selasa, 01 April 2008

MEMAHAMI MAKNA JURNALISTIK INFORMASI HIBURAN

A.Muis

Tepatkah infotmasi yang hanya berisi hiburan (infotainment) masuk kategori jurnalistik (ilmu pemberitaan) ? Apakah hal itu tidak mendangkalkan profesi wartawan menjadi sekadar tukang (alat) penghibur, pembuat gossip dan sensasi? Seperti juga dipertanyakan oleh Cynthia Carter dan Stuart Allan tentang hakekat jurnalistik populer (2000) , bahwa kalau media massa atau jurnalistik mengutamakan hiburan dan sensasi lalu apa hakekatnya? Sekadar kerajinan (craft) atau pertukangan (vocation) belaka tanpa perlu kode etik professi dan pengetahuan akademis? Menurut Neal Garbner (2000) kalau berita mengutamakan unsur hiburan maka sifat berita itu pasti dangkal dan issu utamanya tidak memperoleh perhatian khalayak.

Menurut Cynthia Carter dan Stuart Allan “television news, in the eyes of many critics, is becoming less serious by the day in its search for ever greater audience rating”. Para pengkritik jurnalistik populer dan informasi hiburan (infotainment) lainnya berpendapat bahwa jika sebuah berita sama - sekali tidak memiliki unsur hiburan atau sifat sensasional maka berita itu tidak akan menarik minat khalayak Dengan kata lain isi berita itu akan diredam oleh proses selektif di pihak khalayak dan oleh teori uses and gratifications (U & G).

Menurut Carol Reuss (1999) media pnformasi hiburan ( infotainment media) me;ebih-lebihkan hiburan untuk memberi kegairahan, ransangan, sifat remeh dan sifat sederhana sebuah berita, yang tentu saja dapat membingungkan khalayak. Menurut dia biasanya media informasi hiburan (inforainment media ) menjangkau khalayak yang tidak menggemari media yang serius untuk membuat keputusan tentang apa yang diperlukannya. Dengan demikian media informasi hiburan memang bermanfaat pula bagi orang-orang tertentu , yang tidak memiliki kemauan untuk banyak berpikir ( segmentasi khalayak).


Jurnalistik sensasional.

Pengamat lain, misalnya A.David Gordon (1999) , menyatakan, bahwa jurnalistik informasi hiburan (infotainment journalism) memang ada

juga manfaatnya sebagai informasi. Tetapi tidak dapat menyajikan pengetahuan ilmiah yang memadai (knowledge) bagi khalayak.

Sensasionalisme yang melekat pada informasi jenis itu cenderung menimbulkan respons yang berrsifat emosional dan personal dari khalayak, bukan respons yang bersifat pemikiran (reasoned response). Materi berita yang sensasional justeru membatasi pemberian pengalaman bagi khalayak untuk dijadikan sebagai sumber pengetahuan karena yang diutamakan adalah stimulasi atau ransangan perasaan atau emosi. Jika dirinci pendapat David Gordon itu maka stimulasi emosi dapat berwujud rasa gairah, senang (amused), terharu, ngeri, sedih, takut, terpesona, geram, muak, jijik, atau benci, David Gordon menyingkatkan makna jurnalistik infotainment sebagai cara pemberitaan yang mampu membangkitkan (elicit) “emotional

or sensory stimulation“.

Gossip , selentingan, rumor, dan kejadiaan- kejadian langka. dahsyat, aneh, adalah beberapa menu utama atau nilai berita penting (magnitude, prominence, oddity ) bagi jurnalis infotainment Itulah sebabnya cara pengambilan angel obyek liputan , penggunaan kata-kata, istilah – istilah (dictions) di dalam jurnalistik jenis itu juga “aneh-aneh”, penuh sensasi. Misalnya minggatnya seorang arris perempaun dari suamnya, penyiksaan seorang selibiritis laki-laki terhadap isterinya yang juga selibiritis, dan semacamnya, yang dibunbui narasi , komentar-komentar, yang dramatis. Termasuk pula tindakan “aneh-aneh” jurnalis jenis itu dalam upaya mencari kejadian-kejadian atau orang-orang yang layak berita (newmakers) tertentu seperti mengetuk-ngetuk pintu mobil obyek berita dan sekali-sekali mengikuti cara-cara paparazzi.

Lantas, bagaimana pula memahami hakekat liputan seorang kamerawan amatir , Syamsul (?) , yang berhasil mengabadikan saat-saat terjadinya gelombang sunami , peristiwa alam yang luar biasa itu , di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 ? Kameranya disorotkan dari aras , dari tempat wudu Mesjid Raya Baitul Rahman Banda Aceh. Hasil liputan yang sarat nilai berita penting itu (magnitude, oddity, global proximity) kemudin disiarkan oleh Metro-Tv berkali-kali.

Peranan jurnalistik televisi.


Disiarkannya kejadian itu melalui media penyiaran yang bersifat audio-visual sinematografis (living media) membuat kejadian luar biasa itu seakan-akan dialami sendiri oleh jutaan penonon TV (optic identification).Gelombang dahsyat itu nampak memyapu apa saja termasuk mamnusia, menjungkir-balikkan mobil – mobil, balok-balok kayu, pohon-pohon dan dahan-dahan kayu, dibarengi suara gemuruh yang dahsyat, teriakan histeris manusia dan orang-orang memanjat pohon untuk menyelamatkan diri. Semua kejadian itu pasti membuat penonton terkesima, terharu, ngeri, sedih, pilu, merasa tak berdaya menghadapi kekuasaan Allah Swt (dampak media audio-visual yang dikenal dengan istilah psychological identification sebagai kelanjutan optic identification).

Jelas, liputan audio-visual itu menonjolkan sifat-sifat sensasional dan mendorong respons emosional dari khalayak. Gelombang sunami yang masuk di mesjid itu ternyata tidak bergejolak sedikitpun menurut keterangan kamerawan amatir itu kepada Metro-TV. Hal itu menambah sifat sensasuonal (keajaiban) peristiwa berita (news event) yang luar biasa itu. Maka tanpa disengaja, berita itu memiliki ciri-ciri (mirip) infotainment.

Agaknya benarlah definisi Prof. Roland E. Woleseley dan Prof.Laurence R. Campbell “tempo doeloe” (1949) bahwa jurnalistik adalah diseminasi informasi, opini dan hiburan dengan cara sistematik dan dapat dipercaya melalu media massa modern. Yang dimksud media massa “modern” waktu itu tentu barulah media cetak, media penyiaran radio dan film berita (newsreels).

Dengan demikian jurnalistik memang memiliki pula fungsi hiburan. Hal itu sejalan dengan fungsi media massa yang mencakup fungsi hiburan. Juga perlu difahami, bahwa media massa tidak dapat menjalankan fungsi-fungsinya (informasi, edukasi dan hiburan ) tanpa jurnalistik.

Dapatlah ditarik kesimpulan singkat, bahwa jurnalistik informasi hiburan (infotainment journalism) memang bermanfaat bagi masyarakat . Tetapi unsur hiburannya dan / atau sensasionalismenya hanyalah sebagai sarana (alat) atau “bumbu penyedap” untuk menarik minat khalayak (audience) guna memasuki masalah pokok yang diberitakan. Infotainment bukanlah tujuan jurnalistik dan media massa.

Tidak ada komentar: