Selasa, 01 April 2008

MASYARAKAT BUTUH LEMBAGA POLICE WATCH

A.Muis

Di dalam RUU Kepolisian tidak ada pasal mengenai lembaga police watch sebagai salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan ketertiban dan penegakan supremasi hukum,. Padahal fungsi lembaga itu sangat penting . Paling sedikit sama pentingnya dengan lembaga – lembaga pemantau lainnya seperti Government Watch, Parliament Watch, ICW, Media Watch dan Judicial Watch.Tetapi masyarakat dapat saja membentuk lembaga Police Watch tanpa diatur di dalam UU Kepolisian seperti halnya lembaga-lembaga pemantau publik lainnya yang diutarakan di atas itu. Keberadaan lembaga itu banyak manfaatnya. Antara lain untuk mengatasi kesenjangan komunikasi atau miskomunikasi yang sering terjadi antara polisi dan masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas kinerja polisi.

Di samping itu paradigma baru polisi memang sangat relevan dengan fungsi lembaga pemantau polisi (police watch). Paradigma baru polisi mengacu pada perubahan sikap polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban masyarakat. Yakni polisi harus bersikap demokratis, tidak militeristik dan keberadaannya dapat diterima oleh masyarakat. Implikasinya adalah, polisi harus terbuka kepada masyarakat (transparan), jujur, ramah (friendly), tidak represif terhadap masyarakat , bersikap persuasif dan edukatif.

Kapolda Sulsel Irjen Polisi Drs.Firman Gani memiliki obsesi untuk memulai paradigma baru poliisi itu di Sulawwsi Selatan dengan harapan bisa dicontoh oleh Polda – Polda lain. Kapolda Sulsel, Irjen Polisi Drs.Firman Gani ingin menjadikan paradigma baru polisi itu sebagai pilot project di wilayahnya. Memang Sulsel adalah pintu gerbang lalu lintas internasional di Indonesia Timur dan pusat pengembangan pendidiksn tinggi, sosial budaya, ekonomi, politik dan hukum. Sulsel juga termasuk wilayah yang sedang mengalami perkembangan kriminalitas yang pesat dan canggih. Bahkan Sulsel tergolong peringkat pertama atau paling maju dalam hal praktek KKN . Seirama dengan itu pers setempat hampir tiap hari memberitakan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh polisi terhadap warga masyarakat seperti pemerasan, penganiayaan. pengeroyokan dan perampasan kemerdekaan warga secara sewenag – wenang. Dengan kata lain citra (image) masyarakat tentang kinerja polisi di Sulsel masih berada di bawah standar. Padahal masih banyak polisi di wilayah itu yang kinerjanya baik.

PARADIGMA BARU POLISI.

Masalahnya, mengapa para polisi yang kinerjanya baik hampir tak pernah mendapat pujian dari masyarakat? Mungkin masyarakat berpendapat bahwa sudah seharusnyalah polisi memiliki kinerja yang baik sehingga tak perlu dipuji , tetapi patut dihargai. Namun kinerja buruk beberapa polisi akan merusak citra semua polisi di wilayahnya. Setitik saja nila di dalam sebuah belanga yang berisi susu akan merusak seluruh susu itu.

Untuk melaksanakan paradigma baru polisi tentu masing – masing Polda harus berupaya keras untuk meniadakan atau paling sedikit mengurangi realitas di lapangan yang menunjukkan masih buruknya kinerja polisi. Masih banyak polisi tak sanggup bersikap transparan , demokratis dan berhenti melanggar hukum dalam menegakkan hukum (anomia) .

Sering masyarakat sendiri harus mengambil initiatif untuk melawan tindakan kekerasan oknum – oknum polisi . Caranya dua macam, yakni melakukan amuk massa dan membakar kantor polisi (Polsek atau Polres) yang dinilai membiarkan anggota-anggotanya melakukan kezaliman terhadap masyarakat. Atau melakukan unjuk rasa ke DPR-D II setempat untuk meminta penggantian Kapolres atau Kapolsek dan anak buah mereka. Namun cara itu pun kurang efektif karena sering terjadi pameo atau pepatah “ monyet pergi kera datang”.

Seminar di Mapolda Sulsel tanggal 12 Nopember 2001 yang meminta saya menjadi narasumber menghasilkan kesepakatan untuk membenahi i kinerja polisi di wilayah itu agar bisa tercipta kebersamaan antara polisi dan masyarakat guna mewujudkan keamanan bersama. Paradigma baru polisi harus diterapkan.



MASIH SULIT DITERAPKAN.

Namun realitas di lapangan tetap saja tidak mendukung pelaksanaan paradigma baru polisi tersebut. Hasil seminar itu masih sebatas wacana . Belum usai gema seminar Polda Sulsel tersebut sudah banyak lagi berita-berita pers setempat tentang terjadinya berbagai tindak kekerasan, pemerasan dan bentuk kezaliman lainnya yang dilakukan oleh polisi terhadap warga masyarakat di sejumlah kota dan desa di Sulsel. Padahal seminar tersebut diikuti 250 Kapolres, Kapolwil , Kapolsek dan pejabat – pejabat POLRI dari seluruh Sulsel. Diberitakan secara lengkap oleh Pedoman Rakyat ( 18-19 Nopember 2001) adalah salah satu contoh tentang sikap tertutup polisi. Polisi di Polsekta Mariso minta uang Rp.200.000 kepada orang tua korban untuk memproses kasus pidana itu. Kapolsek Mariso AKP Heri Sasengka membantah. Katanya, uang itu untuk biaya visum . Namun ibu korban, Daeng Kanang menuding Heri Sasengka bohong. Soal biaya visum adalah urusan keluarega korban dengan pihak rumah sakit , tangkis Daeng Kanang. Lagi pula keempat polisi yang minta uang itu tidak memakai dalih “biaya visum”. Uang itu menurut Daeng Kanang memang untuk peribadi para polisi itu . Contoh lain, seorang pembantu rumah tangga bernama Nina ditahan oleh polisi dengan dalih membawa senjata tajam . Padahal cuma pisau dfapur. Ia dimintai uang Rp.500.000 untuk pembebasannya (Pedoman Rakyat, 21 Oktober 2001). Contoh lain lagi, yang menunjukkan sikap polisi yang tertutup dan tidak demokratis adalah pengusiran wartawan Kamis malam tanggal 15 Nopember 2001 di Poltabes Makassar . Para wartawan itu bertugas meliput pemeriksaan Bupati Gowa Syaharul Yasin Limpo SH, Msi yang dituduh mengkonsumsi narkoba . Polisi memakai dalih tidak ada izin dari Dispen Polda Sulsel (SCTV, Liputan 6 Petang, Jumat 17 Nopember 2001). Jika berita itu benar maka berarti Polda Sulsel memberlakukan izin bagi media massa . Hal itu bertentangan dengan UU No.40 – 1999 (pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 dan diancam sanksi pidana berdasarkan pasal 18 ayat 1 ).


Tidak ada komentar: