Selasa, 01 April 2008

SISTEM MEDIA MASSA NASIONAL BUTUH PERUBAHAN

A. Muis
(menyambut Hari Kebebasan Pers Dunia 3 Mei 2004)

Makna world press freedom day 3 Mei adalah imbauan dan peringatan kepada semua negara agar memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kebebasan pers. Memang hanya sebatas imbauan karena tak ada keseragaman pengertian tentang kebebasan media massa di seluruh dunia . Sistem pers atau sistem media di masing-masing negara biasanya dipengaruhi oleh sistem politik di negara-negara itu. Sedangkan sistem politik itu sendiri berbeda-beda di masing-masing negara. Bisa pula sistem politik sama , tetapi berbeda dalam hal budaya komunikasi, kebijakan negara atas media (media policy) atau sistem hukum media (media law). .


Di Indonesia , misalnya, UU Pers, UU Penyiaran dan pasal-pasal KUH-Pidana yang mengatur delik-delik komunikasi massa dan pers kini berada pada tahap perkembangan yang kurang cerah dan ambiguous . Di satu pihak aspirasi kebebasan media nasional sangat diwarnai semangat kebebasan dunia maya (cyber space) atau globalitas, sebuah bentuk kebebasan tanpa batas – batas negara. Kebebasan seperti itu tercermin di dalam UU No.40 – 1999 tentang pers. . Sedang di lain pihak, undang – undang lain (selain UU Pers ) dan sistem politik nasional yang sedang berubah dari sistem otoriter ke demokrasi masih menyimpan teori media otoriter atau teori media pembangunan yang sangat membatasi kebebasan media secara represip (pre - publication penalty) Hal itu jelas kelihatan dalam UU No.32 – 2002 tentang penyiaran, pasal 154 – 155, pasal 207 – 208 KUH-Pidana dan pasal XIV-XV UU No.1 – 1946. , UU Penyiaran mengharuskan lembaga penyiaran memiliki izin siaran, padahal sudah ada izin frekuensi (gelombang elektro magnetik) bagi lembaga itu. Berarti ada dua lapis izin yang tentu sangat memberatkan lembaga penyiaran. Izin penyiaran (pasal 33) dalam UU No.32 – 2002 tak ada bedanya dengan izin penyiaran dalam UU No.27 – 1996 yang notabene dianggap tidak sesuai dengan kebebasan pers .Atau sama saja dengan SIT atau SIUPP dalam UU Pers Orde Baru.No.21 – 1982.. Padahal sistem politik negara ini bukan lagi sistem otoriter , melainkan sistem demokrasi atau sedang dalam proses demokratisasi. Begitu pula delik-delik penyebar kebencian (pasal 154-155, 207-208 KUH-Pidana dan pasal XIV-XV UU No.1 – 1946 tentang berita bohong yang menimbulkan keonaran masyarakat , jelas bersifat represip karena rumusannya terlampau luas.

Dengan demikian sistem hukum media nasional ternyata semrawut. Kesemrawutan itu jelas kelihatan dalam hubungan antara UU Pers dengan UU Penyiaran dan UU Hukum Pidana. UU Pers menganut arti pers yang luas, yakni mencakup media penyiaran (radio dan TV) dan film berita (newsreels ) Hal itu dipertegas oleh pasal 1 ayat 1 dan 2, dan pasal 4 ayat 2 UU Pers . Juga diakui oleh UU Penyiaran dalam

Konsideran “Mengingat” ayat 8. dan pasal 42 tentang kegiatan jurnalistik penyiaran yang diharuskan tunduk kepada undang-undang yang berlaku (UU Pers dan KUH-

Pidana) dan kepada Kode Etik Jurnalistik yang juga berlaku pada jurnalistik cetak. Tetapi UU Penyiaran justeru bertentangan dengan UU Pers yang diakuinya sendiri. UU Pers tidak membolehkan tindakan pemasungan atau pembatasan kebebasan secara represip, termasuk perizinan dan larangan penyiaran (pembreidelan) dan sensor. Tetapi UU Penyiaran bukan saja membolehkan larangan penyiaran (sejenis pembreidelan), melainkan juga mengharuskan izin penyiaran yang ang berarti bisa disusul dengan pencabutan izin dan sejumlah bentuk tindakan sensor dalam arti luas atau imprimatur menurut terminologi Gereja Katolik dahulu (Pasal 33 yunto pasal 55 UU Penyiaran) . Hal itu tentu saja bertentangan dengan pasal 28F UUD-45 dan pasal 19 DUHAM 1948 yang mengharuskan pembatasan kebebasan media massa secara post-publication penalty.

Ketentuan UU Pers pun berlebihan karena undang-undang ini a juga mencakup pamflet, sepanduk dan semacamnya pahal sudah ada UU No.19 – 1998 yang mengtur saluran-saluran komunikasi publik seperti itu.


Pembentukan KPI juga tidak konstitusional karena predikatnya sebagai lembaga negara yang “indepeden” tidak ditemukan di dalam UUD-45. Luasnya fungsi dan kewenangan (kekuasaan) yang dimilikinya pun tak tanggung – tanggung , sangat luas. KPI tak lebih dari lembaga eksekutip atau perpanjangan tangan (verlengstuk) pemerintah yang pada hakekatnya dapat memasung kebebasan pers Jika diikuti beberapa model pengaturan lembaga penyiaran di manca negara maka lembaga yang tepat adalah semacam Dewan Penyiaran (semacam Dewan Pers) yang berfungsi sebagai advisory body, bukan regulatory body.


Bagaimanapun juga , perlu dilakukan pembaruan sistem hukum media nasional bukan saja untuk memenuhi tuntutan konstitusi (UUD-45), melainkan juga untuk mengindahkan peringatan world press freedom day 3 Mei..

Tidak ada komentar: