Minggu, 06 April 2008

TEORI PELURU KOMUNIKASI DI TANGAN MASYARAKAT

A.Muis

Merebaknya istilah “kebablasan pers” dan “kebablasan” komunikasi sosial belakangan ini sangat mencerminkan kemerosotan norma-norma etika dan hukum di bidang tersebut. Istilah yang amburadul itu memang sering tercermin dalam cara-cara penyajian berita yang kata-katanya dipelintir (spinning of words), cara pengambilan angel peristiwa yang diliput (newsevent) dan bahasa (dictions) yang sensasional, yang menyesatkan khalayak (audience) .Institusi-institusi komunikasi sosial pun terkoptasi euforia kebebasan yang berbuntut “ kebablasan.”. Hal itu mudah dilihat dalam berbagai aksi demonstrasi belakangan ini. Misalnya, para demonstran memberi kumis dan menginjak-injak gambar kepala presiden dan wakil presiden. . Cara berdemokrasi dan melaksanakan kebebasan komunikasi seperti itu oleh DR.Barrington Moore Jr. disebut demokrasi dan kebebasan predator. Dari sudut pandang kajian komunikasi (communication study) hal itu berarti, bahwa penggunaan teori peluru komunikasi (bullet theory of communivation) yang biasanya digunakan oleh penguasa negara atau pemerintah kini telah beralih atau melebar ke dalam tangan masyarakat. Seolah – olah model komunikasi bottom up digunakan oleh ORNOP – ORNOP untuk mengalahkan model komunikasi top down atau model S-R yang, misalnya , berupa kebijakan pemerintah di berbagai bidang . Sama halnya Ornop Penyiaran yang anti sensor ,anti sanksi administratip dan anti kewenangan pemerintah dalam hal perizinan penyiaran Sikap keras anti sensor terhadap tayangan media audio-visual sinematografis yang notabene melanggar nilai-nilai agama dan norma-norma budaya komunikasi mayoritas bangsa ini juga mencerminkan penggunaan teori atau model peluru komunikasi , model komunikasi satu arah dan model komunikasi kibernetik oleh sebagian LSM Penyiaran. Paradigma komunikasi top down dianggap ada di dalam UU Media Massa khususnya Penyiaran. Sikap anti terhadap kewenangan pemerintah dalam hal pemberian izin frekuensi bagi penyiaran dan sanksi administratip jelas bertentangan dengan sistem hukum Tata Usaha Negara yang berlaku di Indonesia.

Hal itu tentu dapat mendorong pemerintah atau penguasa di Indonesia dan di negara - negara lain di Asean lainnya untuk memberlakukan kebijakan komunikasi (communication policy ) yang ketat atau represip termasuk tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat individual terhadap penyelenggara penyiaran (broadcaster) dan terhadap wartawan (A.Muis, Kompas, 26 Juli 2002). Tak mustahil pula aparat keamanan melakukan tindakan “kebablasan” terhadap “kebablasan” media massa . Maka tak heranlah jika sering terjadi tindakan kekerasan oleh polisi dan tentara terhadap wartawan .Tindakan represip yang sulit dicegah itu justeru sudah lebih dari tindakan sensor dan sanksi administratip atau sudah menyerupai sensor dalam arti luas (imprematur).

Di samping itu KUH-Pidana Indonesia dan undang-undang lain masih menyimpan sejumlah warisan teori media otoriter yng sama dengan tindakan imprematur dan sanksi politik yang berat. Antara lain pasal 154 – 155 , 207 – 208 , Pasal XIV-XV UU No.1 – 1946 dan UU No.23 – 1959 . Benarlah kata Kafel dan Siebert bahwa teori media otoriter sudah terlanjur membudaya di seluruh dunia dan sewaktu – waktu akan kambuh di negara-negara yang justeru menganut teori media libertarian.(031002)

Tidak ada komentar: