Minggu, 06 April 2008

NEGARA DAN RAKYAT INI SUDAH BABAK BELUR

A.Muis

Sejarah menyaksikan, negara bersama rakyat ini sudah babak belur oleh berbagai pertikaian dan korupsi di kalangan para pemimpin yang haus kekuasaan dan harta. Setelah Belanda hengkang dari Indonesia ternyata penindasan oleh manusia atas manusia dan pelanggaran HAM tidak lenyap, bahkan meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Negara semakin tak mampu mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya, supremasi hukum kian tak mampu mengayomi rakyat kecil dan keadilan juga kian menjauhi mereka. Di pihak lain para penguasa dan para elite politik kian tak terjangkau oleh kekuasaan hukum. Negara telah lama menjadi alat pemerasan atas rakyat oleh mereka yang sedang berkuasa . Rakyat kian lama kian menjadi kurus secara psikis dan moral karena terus menerus tertekan oleh kesulitan dan kesumpekan hidup yang tak berujung. Masa depan kian tak menentu dan cakrawala di sekitar kian gelap. Semua institusi negara dan institusi sosial juga kian lemah karena dijadikan obyek eksploitasi ekonomi dan politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka yang duduk di puncak dan yang dekat pada piramida sosial. Pada semua fase perkembangan sosial itu selalu terjadi eksploitasi institusi publik sehingga selalu terjadi krisis institusional. Hanya caranya berbeda sesuai dengan sistem politik yang berlaku. Di masa Orde Lama dan Orde Baru eksploitasi institusi-institusi publik dilakukan menurut cara-cara kekuasaan totaliter. Di masa Orde Lama demokrasi diberi nama demokrasi terpimpin . Pelaksanaannya sama dengan sistem politik totaliter. Misalnya Ketua MPR/DPR dan Ketua MA adalah Menteri sehingga berada di bawah kekuasaan presiden atau kepala eksekutif. Berlaku tahanan politik . Banyak terjadi sensor dan pembreidelan pers dan berlaku tahanan politik. Di zaman Orde Baru demokrasi disebut Demokrasi Pancasila yang pelaksanaannya sama juga dengan sistem totaliter. Tahanan politik dilanjutkan. Lembaga-lembaga media massa dikekang secara represif dengan undang-undang dan kebijakan media (media law and media policy) yang meniru teori media otoriter atau teori media pembangunan. Banyak terjadi pembreidelan dengan nama pembatalan SIUPP. Pemilihan umum hanya boleh diikuti tiga partai, DPR, MPR dan kekuasaan Kehakiman dikuasai eksekutif secara de facto. Praktek korupsi merajalela. Dan pelanggaran HAM cenderung menjadi “kesenangan” para penguasa.

Di era reformasi ini pengrusakan institusi-institusi publik bahkan cenderung lebih parah lagi baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Caranya kian canggih. Demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila tidak ada lagi. . Tidak ada lagi tahanan politik, Demokrasi berubah sifat menjadi demokrasi predator. Salah satu penyebabnya adalah euforia kebebasan yang sangat tajam (kebablasan) di segala bidang dan di semua strata sosial. Praktek korupsi memperoleh ramifikasi yang lebih melengkapi dan lebih mengukuhkan keberadaannya, , yakni praktek KKN.

PENGADILAN HAM DIHADANG KOMPROMI POLITIK.

Lembaga – lembaga demokrasi seperti legislatif dan partai politik dijadikan alat komunikasi politik untuk mengintervensi penegakan hukum atau untuk mempolisasi hukum. Misalnya skandal Bank Bali (Baligate) , Buloggate I dan Buloggate II. Tetapi yang paling tajam adalah Buloggate II . Terkenal istilah “Skenario Muladi” atau ”Skenario Majestik” dan “Skenario Mahakam” untuk menyelamatkan Akbar Tanjung dari tanggung jawab hukum dan politik, atau untuk “menegakkan benang basah”.

Penegakan HAM dan supremasi hukum seakan-akan membentur tembok besar yang sangat kukuh. Penegakan HAM dan hukum kebanyakan hanya berwujud wacana, diskusi atau talk show di TV. Semua orang masih ingat pidato kenegaraan Presiden Megawati tanggal 17 Agustus 2001 yang berisi tekad untuk mengadili para pelanggar HAM dan para pelaku KKN. Tetapi pelaksanaan isi pidato itu bukan lagi hanya jalan di tempat, tetapi seakan-akan terhenti sama-sekali. Upaya penegakan HAM lewat pengadilan HAM sepertinya terjebak dalam kompromi politik, permintaan maaf dan rekonsiliasi nasional. Seakan-akan ada hambatan “hutang budi”. Misalnya saja, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Trisakti dan kasus 27 Juli 1996 yang langsung menimpa Presiden Megawati sendiri. Berita-berita media massa selama ini mengungkapkan bahwa yang terlibat adalah aparat keamana dari TNI dan kepolisian. Di situlah letak masalahnya. Sidang Istimewa MPR tahun silam sukses melengserkan Presiden Abdurrahman Weahid karena dukungan TNI dan Kepolisan. Boleh dikatakan, TNI dan polisi sangat berjasa menyediakan “kuda troya” bagi Megawati untuk lolos masuk benteng istana. Dengan demikian masuk akal jika ”tekad” Presiden Megawati untuk menegakkan HAM tanpa pilih bulu itu mengalami kemacetan yang nyaris total karena terhambat oleh tenggang rasa . Maka tak pelak lagi rasa keadilan rakyat terpaksa selalu dikorbankan. Lain halnya soal pelanggaran HAM berat di Negara Timor Lorosae. Pengadilan HAM berjalan lancar karena ada tekanan internasional terhadap Indonesia.

Tidak ada komentar: