Selasa, 01 April 2008

Tragedi Hukum dan Politik 12 Pebruari 2004

A.Muis

Kasus Akbar Tandjung merupakan berita terbesar di awal tahun 2004 ini di samping kasus Kampar, demam berdarah, gempa bumi, banjir dan Pemilu. Di dalam kasus Akbar Tandjung semua nilai berita menonjol. , terutama keluarbiasaan ( magnitude ), ketegangan ( suspense ), keanehan ( oddity ) atau sifat kontroversil dan kemashuran atau ketenaran sosok Akbar Tandjung ( prominence ).

Faktor – faktor itulah yang menjadi penyebab utama bergesernya kasus hukum Akbar Tandjung ini kepada masalah politik yang besar. Protes – protes masyarakat dan mahasiswa terhadap putusan MA tanggal 12 Februari 2004 yang membebaskan Akbar Tandjung sarat dengan nada komunikasi politik. Ternyata pula aksi unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota di Indonesia itu berdarah – darah memancing pelanggaran HAM khususnya di Jakarta dan di Makassar. Kejadian itu menunjukkan kenyataan masih digunakannya pendekatan kekuasaan represif terhadap aksi – aksi unjuk rasa mahasiswa. Demonstrasi mahasiswa atau warga masyarakat yang mengajukan protes sosial adalah sebuah bentuk komunikasi politik. Kebebasan komunikasi termasuk komunikasi politik adalah HAM. Semua bentuk tindakan represif terhadap aksi demonstrasi yang mengajukan protes sosial adalah pelanggaran HAM. ( Bab XA UUD’45 )

Dampak politik dan psikologis dari pengumuman putusan MA tgl 12 Februari 2004 itu memang cukup luas. Opini publik yang dibentuk oleh pengumuman putusan itu melalui pemberitaan pers seakan – akan hendak “menghakimi” AT dan seakan – akan ingin “mengambilalih” tugas MA.

Tidak kurang dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang menyatakan kepada para wartawan tgl 14 Februari 2004 “bahwa MA tidak jujur”. Roy B. B. Janis, anggota DPR dari PDI-P menyatakan putusan MA itu bisa menjadi bumerang bagi partai Golkar dalam Pemilu 2004 ini. Sedang Ketua MPR Amien Rais kurang lebih menyatakan, polisi, jaksa, dan hakim bisa meloloskan perkara pidana ; hanya Allah SWT yang tidak bisa diajak meloloskan perbuatan yang buruk.


Elite politik lainnya berpendapat, sebaiknya kita dapat memahami putusan MA dan menurut Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya masalah ini diserahkan kepada kewenangan MA. Tetapi pihak Kejakgung dan para hakim pertama dan para hakim tinggi yang menghukum AT menyatakan AT bersalah karena bukti – bukti cukup Kejaksaan Agung akan mengajukan permohonan PK kepada MA.

Ada “keputusan sejarah” menurut Benyamin Mangkudilaga kepada RCTI tgl 12 Februari 2004. Mantan Hakim Agung itu mengemukakan, majalah Tempo menang di PTUN dan di PTTUN. Tetapi dihukum oleh MA. Itu tahun 1996 – 1998. Tahun 1998 sejarah berkata lain. Tahun 1999 Tempo “dimenangkan” oleh sejarah. Kasus Tempo kebalikan kasus AT. Lalu kapan sejarah akan membuat keputusan lain ? Menurut Benyamin Mangkudilaga “pada Pemilu nanti”. Tentu prediksi politik ini bisa saja benar – benar terjadi jika Tuhan meridhoinya. Pemberitaan pers dan penyiaran khususnya TV

( yang secara teknologi sangat tajam pengaruhnya ) terus meluas membawa dampak politik putusan MA itu. Protes mahasiswa pun meningkat. Ada pembakaran keranda orang mati, ada penurunan bendera merah putih setengah tiang dan simbol – simbol komunikasi politik lainnya yang mengisyaratkan “kematian” supremasi hukum di negara ini.

Protes mahasiswa yang selalu bekerja saama dengan media massa, yang merupakan dua pusat keunggulan ( centre of exelence ) tak lupa pula memberitakan protes keras mahasiswa terhadap kepolisian yang dianggap melakukan kezaliman

( penganiayaan berat ) terhadap teman – teman mereka. Ada kejadian yang menarik dan langka. Mahasiswa menolak bantuan biaya pengobatan dari pihak kepolisian dan meminta agar uang itu digunakan untuk memperbaiki mental polisi. Yang dimaksud tentulah oknum – oknum polisi – polisi yang melakukan penganiayaan terhadap teman – teman mereka. Namun pepatah lama tak pernah usang satu yang berbuat semua kena (pars prototo )

Bagaimanapun pers dan media massa lainnya telah turut melaksanakan fungsi informasi dan kontrol sosial dalam kasus AT atau tragedi 12 Februari ini dengan baik. Artinya, mematuhi hukum – hukum jurnalistik seperti rumus 5W + H, rumus etika berita accurate, fair & true ( AFT ) dan teori – teori tentang objective reporting, jurnalistik kemasyarakatan, ( civic journalism ) dan jurnalistik perdamaian ( peace journalism )

Dari kasus AT ini muncul gejala kesenjangan yang lebar antara opini publik dan pemerintah tentang cara – cara penegakan hukum. Di satu pihak pemerintah cenderung sangat yakin akan kejujuran lembaga peradilan termasuk dukungan atas cara – cara polisi menangani demonstrasi mahasiswa. Tetapi di pihak lain masyarakat selama ini hampir tidak pernah benar – benar yakin akan kejujuran lembaga peradilan dan sering memprotes cara – cara polisi menangani pengunjuk rasa yang sering represif. Itulah pula yang terjadi dengan kasus AT yang dramatis ini.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap MA sudah terlanjur parah sehingga walaupun “benteng terakhir” keadilan ini berupaya berlaku adil, jujur dan professional, masyarakat tetap ragu. Kasus Akbar Tandjung kian memperparah sikap apriori masyarakat terhadap kinerja MA. Sikap apriori masyarakat itu banyak tercermin di dalam aksi – aksi demo mahasiswa dan LSM. Oleh media massa diberitakan, mahasiswa akan menggelar apa yang mereka namakan “Pengadilan Rakyat” untuk “mengadili” AT. Pada tgl 17 Februari 2004 menurut berita media massa sejumlah LSM di Yogya mengadakan demonstrasi anti Orde Baru berlokasi di Kampus UGM. LSM menilai putusan MA itu “anti reformasi”dan berbau Orde Baru. Nuansa komunikasi politik dari demo LSM ini amat menonjol jam 23.00 menggelar diskusi panel. Putusan MA itu kian lama kian berbau nuansa politik karena pihak yang kontra kian banyak tanpa memikirkan lagi aspek teknis yuridisnya. Diskusi panel yang diadakan SCTV Rabu malam tgl 18 Februari 2004 cenderung mengkritisi putusan MA itu sebagai preseden bururk, yaitu pejabat yang menerima instruksi dari atasan bebas dari tanggungjawab pidana meski ia melakukan kejahatan dan atasan yang memberikan instruksi juga tidak dikenakan tanggungjawab.

Berarti AT dikuasai oleh daya paksa dari luar dirinya sehingga terpaksa melakukan

perbuatan pidana dan menurut pasal 48 KUH Pidana ia tidak dapat dibebani tanggungjawab, orang yang mengalami paksaan demikian disebut tangan yang mengabdi ( manus ministra ). Sedangkan pihak memaksa yang disebut tangan yang merajai ( manus domina ), harus bertanggungjawab menurut maksud pasal 55 ( 2 ) KUH Pidana. Logika hukumnya demikian. Dari harian ke harian kian banyak pihak yang memprotes putusan MA itu yang dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara itu, kalangan pejabat tak jemu – jemunya menyatakan, putusan MA itu “harus dihormati”. Dihormati belum tentu “disepakati”. Ihwal yang jelas tak mustahil Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan dalam menerima permohonan kasus AT karena para Hakim Agung yang terlibat adalah manusia biasa. Sedangkan para Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi bisa saja benar dalam menghukum AT jika para hakim pertama dan para hakim banding yang terkait mengikuti perintah suara hati nurani mereka. Masalah yang berat adalah hilangnya dengan tiba – tiba kepercayaan sebagian masyarakat terutama mahasiswa ( centre of exellence ) kepada MA.

Tidak ada komentar: