Selasa, 01 April 2008

KEBIJAKAN POLRI DAN TAYANGAN BERITA

A.Muis

Paper ini merupakan lanjutan isi paper saya tanggal 12 Mei 2004 berjudul ” MASALAH TAYANGAN BERITA KRIMINALITAS DI TELEVISI” (isi wawancara saya dengan Radio Nederland tanggal 4 Mei 2004) dan ulasan atas keterangan Waka Divisi Humas Polri, Brigjen (Polisi) Drs. Sunarko, dalam rapat dengar pendapat (hearing) dengan KP3T tanggal 12 Mei 2004 tentang pembentukan Tim Pemantau Pemberitaan TV ditambah ulasan atas kebijakan Kapolda Sulsel, Irjen Polisi Drs Saleh Saaf tentang pembatasan liputan TV dalam operasioperasi penanggulangan kriminalitas oleh polisi di Sulsel. .

1. Menurut Waka Divisi Humas POLRI, Brigjen (Polisi), Drs. Sunarko, keprihatinan KP3T terhadap meluasnya tayangan berita kriminalitas TV yang menonjolkan aspek kekerasan adalah juga keprihatinan POLRI. Karena itu POLRI-lah yang lebih dahulu mengamini upaya KP3T untuk menanggulangi hal itu Kebetulan POLRI telah membentuk Tim Pemantau Pemberitaan TV yang pada intinya bertugas membatasi tayangan berita kriminalitas TV yang menonjolkan kekerasan. Cara yang ditempuh bersifat persuasif . Menurut Waka Divisi Humas Polri teman – teman wartawan dianjurkan untuk tidak ikut meliput operasi penangkapan terhadap para tersangka pelaku kejahatan yang berbentuk paksaan . Juga polisi perlu melindungi keselamatan teman – teman wartawan. Jadi demi ketenangan dan ketertiban masyarakat maka pemberitaan TV mengenai kriminalitas perlu dibatasi. Tetapi cara – cara yang ditempuh menurut Brigjen (Pol) Drs.Sunarko disesuaikan dengan konteks permasalahan di lapangan atau bersifat situasional. Pengertian ini memang agak luas.


2. Sementara itu Kapolda Sulsel, Irjen (Pol) Drs.Saleh Saaf menyatakan kepada wartawan setempat Selasa 18 Mei 2004 bahwa kebijakannya membatasi peliputan TV terhadap kriminalitas tujuannya adalah agar tidak timbul kesan buruk masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menangani kriminalitas. Pembatasan tersebut berlaku pula terhadap wawancara wartawan dengan para tersangka pelaku kejahatan dengan tujuan yang sama.

3 Masalahnya, mengapa pemberitaan kriminalitas di TV yang menonjolkan aspek kekerasan dan sadisme semakin merebak belakangan ini? Mengapa TV beramai-ramai membuat acara - acara siaran kejahatan dalam bentuk film semi cerita atau film semi dokuemnter dengan berbagai macam nama seperti Lacak, Buser, Investigasi, Bidik dsb yang menyajikan berita rekonstruksi

perbuatan pidana (misalnya pembunuhan atau penganiayaan berat) dengan bumbu – bumbu skenario kekerasan dan investigative reporting?

4. Apa akar masalahnya? Sudah pasti tidak bisa luput dari keterlibatan jurnalistik TV yang teknologinya tinggi atau canggih disampaing cara melaksanakan tuntutan kebebasan pers. Kita semua mengetahui, bahwa TV tergolong jenis media massa yang teknologinya tinggi (high tech) , yakni memiliki ciri audio-visual sinematografis yang menciptakan efek identifikasi optik dan identifikasi psikologis bagi khalayak (high touch) Juga era kebebasan pers atau kedudukan pers sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) tidak bisa luput sebagai akar masalah kebebasan pemberitaan TV yang tak seimbang dengan rambu-rambu KEJ/KEWI dan rambu-tambu hukum cq UU Pers dan UU Penyiaran. . Budaya kekerasan (violent culture) yang sudah lama mendominasi perilaku masyarakat kita tak mungkin luput sama-sekali dari cara berpikir para pekerja media massa dan aparat keamanan. Arogansi dan pendekatan kekuasaan aparat keamanan sulit dilepaskan dari peranannya sebagai salah satu akar masalah tayangan kekerasan di TV. Hal itu adalah suatu realitas yang tak terbantah seperti kelihatan dengan sangat jelas dalam tayangan berita SCTV tentang penyerbuan polisi di kampus UMI Makassae tanggal 1 Mei 2004 yang heboh itu.

5. Akar masalah tayangan kekerasan di TV tersebut dapat dihubungkan dengan berbagai teori dan permasalahan atau protes dari banyak pihak.


6. Dari sudut pandang teori jurnalistik laporan mengenai suatu kejadian terutama yang bernilai berita penting ( magnitude, prominence, proximity, oddity, importance, proximity dsb ) seperti kasus UMI Makassar itu lazimnya diuraikan secara rinci dan dikedepankan engel – engel kejadian yang dianggap penting ( untuk TV disebut close up ). Cara seperti itu tampak dengan jelas di dalam liputan SCTV (Iwan Taruna cs) mengenai penyerbuan polisi di kampus UMI Makassar tanggal 1 Mei 2004. Itulah pula cara penerapan fungsi agenda setting dan gatekeeper dalam upaya mempertemukan keinginan SCTV (agenda media ) dengan keinginan pemirsa (agenda khalayak) TV yang memiliki teknologi tinggi (audio-visual sinematografis) tentu saja perngaruh tayangan beritanya sangat tajam bagi pemirsa baik berupa pengtuh kognitif maupun pengaruh opini dan prilaku (proses identifikasi optik dan identifikasi psikologis) Penonton mudah mengalami kemuakan moral atau kemuakan etis dalam menyaksikan kekejaman para penyerbu kampus UMI itu.

7. Kejadian itu mungkin merupakan salah satu alasan bagi Kepala Polisi Daerah Sulsel , Inspektur Jenderal Drs. Saleh Saaf untuk membatasi

pemberitaan TV dalam kasus-kasus kriminalitaa di daerah itu . Tujuannya adalah agar citra polisi dimata masyarakat tidak buruk.


8. Jadi kelihatan ada perbedaan tujuan dan maksud mengenai penolakan terhadap pemberitaaan TV yang menonjolkan kekerasan . Di satu pihak masyarakat dan KP3T bersasma Disvisi Humas Polri “mengharamkan” tayangan kekerasan di TV karena hal itu melanggar etika (KEJ / KEWI) , moral, UU Penyiaran dan UU Pers. Juga tayangan-tayangan kekekrasan di TV

itu mempertontonkan pelanggaran HAM dan Hukum oleh para pelaku kekerasan. Di pihak lain, ada keinginan menyembuyikan prilaku kekerasan aparat terhadap warga masyarakat.


9. Sebenarnya bagi media massa in casu TV tayangan berita kriminalitas yang menonjolkan kekerasan justeru dapat berarti suatu upaya kontrol sosial atau kritik terhadap kekerasan ; ingin membentuk opini publik yang benci terhadap prilaku aparat yang tak terpuji (seperti kasus UMI) . Atau media ingin melaksanakan fungsi pengawasan lingkungan (surveilance of the invironment), yakni mengingatkan masyarakat agar selalu bersikap waspada karena banyak terjadi kekerasan. Hal itu juga sesuai dengan maksud pasal 6 ayat b UU Pers, bahwa masyarakat berhak mengetahui apa yang terjadi dalam lingkungannya termasuk tentang kinerja lembaga-lembaga kekuasaan (public’s right to know). .


10. Berkata Jeremy Bentham . ahli filsafat hukum Inggeris abad 18, bahwa tanpa publisitas mengenai seluruh proses pemerintahan maka perbuatan jahat (evil) akan terus-menerus terjadi; tidak ada pemerintah yang kinwerjanya baik tanpa pengawasan publisistas pers. Juga menurut Joseph Pulitzer hanya ada satu cara untuk mengkuhkan demokrasi, yakni nenberikan infomasi terus-menerus kepada publik tentang semua kejadian di sekitar kita. Jangan ada perbuastan jahat disembunyikan, jangan ada kelicikan, kebohongan, akal-akalan tipu daya dan cara kerja buruk pemerintah yang dirahasiakan. Beberkan semuanya melalui pers, hujat, cemohkan semua perbuatan buruk yang ada melalui pers . Lambat laun opini publik akan menyapu bersih semua keburukan itu


  1. KESIMPULAN.

Dengan demikian, upaya membatasi pemberitaan TV di luar kewenangan UU Penyiaran, UU Pers , KUH-Pidana dan yurisprudensi dapat menimbulkan masalah kebebasan pers. Jika POLRI ingin agar kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota-anggotanya tidak diberitakan oleh TV dan media massa lainnya maka cara yang terbaik adalah menghentikan kebiasaan yang buruk itu Di lain pihak tentu saja TV juga wajib mentaati rambu – rambu hukum dan kode etik jurnalistik dalam memberitakan peristiwa – peristiwa kejahatan agar kebebasan pers tidak rusak.


Lebih dan kurangnya mohon dimaafkan

Tidak ada komentar: