Selasa, 01 April 2008

TV MUSUH PUBLIK ?

A.Muis

Dalam pertemuan antara para pengelola TV swasta yang menjadi anggota Assosiasi TV Swasta Indonesia ( ATVSI ) dengan Komite Penegakan Pedoman Perilaku TV ( KP3T ) beberapa waktu yang lalu muncul istilah yang “ mengagetkan “, yakni TV sekarang menghadapi masyarakat yang membenci isi siaran TV ( public enemy ). Yang “ dibenci “ adalah tayangan – tayangan hiburan yang dinilai vulgar, tayangan – tayangan berita kriminalitas yang bernuansa kekerasan, tayangan – tayangan mistik, iklan yang menyesatkan dan eksploitasi seks.


Kalau TV dihadapkan pada penilaian negatif, dan banyak menerima protes dari berbagai pihak terutama sejumlah LSM, maka hal itu wajar – wajar saja, dan tak perlu terlalu dirisaukan. Bukankah komunikasi massa ( media massa ) itu selalu melibatkan khalayak ( audiences ) yang jumlahnya sangat besar, anonim dan heterogen ? Bukankah isi ( pesan ) media massa bersifat terbuka untuk publik ( offenliche Aussage ) ? Publik atau audience yang begitu banyak dan heterogen dalam berbagai hal, misalnya nilai – nilai budaya dan kerangka pikir ( frame of reference ). Masuk akal jika ada diantara jutaan audiences media massa ( in casu TV ) kelompok – kelompok ( komunitas ) yang tidak senang terhadap isi siaran / pesan TV sebagian atau seluruhnya ( selective perception ). Dimana – mana bisa dilihat adanya kejadian – kejadian seperti itu yang terkait dengan teknologi TV atau yang disebut oleh Annette Hill living media yang menyebarkan tayangan – tayangan hiburan yang menggetarkan penonton ( shocking entertainment ). Ada reaksi negatif dan ada positif. Sedang menurut Prof. George Gerbner bagi masyarakat di dunia maju ( Dunia I ) TV sudah lama menjadi “ agama baru “ ( TV as new religion ). Yang ia maksud, TV sudah menjadi medium sosialisasi yang menstandarisasikan peranan dan perilaku bagi kebanyakan orang. Fungsi TV sudah merupakan fungsi p-embudayaan ( encultration ). Orang belajar mengenal nilai – nilai dari TV ; bagaimana menjalankan peranan di dalam masyarakat, bagaimana berperilaku yang pantas, sifat – sifat apa yang patut dipuji dalam pergaulan. Semua itu dipelajari banyak orang dari TV. Pengaruh TV yang terkesan berlebihan itu tentu saja tidak berlaku di dalam masyarakat – masyarakat yang solidaritas sosialnya bersifat mekanis ( Gemeinschaft ) seperti di Indonesia yang memiliki banyak komunitas atau kelompok – kelompok yang berciri demikian. Peranan TV sebagai medium sosialisasi yang paling kuat seperti kata George Gerbner tersebut terbendung oleh sikap selektif berbagai komuniats yang lebih kuat lagi terhadap isi pesan media massa in casu tayangan – tayangan TV ( selective exposure, perception and retention ). Fenomena itulah yang tercermin di dalam tindakan protes dari berbagai LSM terhadap program – program siaran tertentu di TV.


Memang harus diakui, dalam proses modernisasi di pedesaan yang sedang berlangsung dengan cepat itu ada pengaruh TV yang kadarnya lebih besar daripada radio ( hasil penelitian sebuah team riset komunikasi Unhas tahun 1996 di beberapa desa Sulsel ). Hal itu disebabkan oleh teknologi TV yang lebih tinggi mutunya daripada jenis media lainnya ( high tech high touch ). Tetapi variable modernisasi masyarakat desa itu ternyata lebih terkait dengan kemajuan pengetahuan tentang dunia luar ( cosmopolitan ). Sedang perilaku para warga desa termasuk yang berusia muda pada umumnya tetap dikontrol oleh para pemangku adat dan para pemuka agama ( village opinion leaders ). Kendati telah diterimanya teknologi baru termasuk TV, kendaraan sepeda motor, listrik, peralatan – peralatan rumah tangga modern dan cara berpakaian penduduk kota, dominasi nilai – nilai agama dan tradisi masih kuat. Singkat cerita budaya komunikasi tradisional di Indonesia masih lebih ampuh daripada pengaruh the living media.

Tidak ada komentar: