Selasa, 01 April 2008

MENDESAK, UU ANTI PORNOGRAFI.

A.Muis

Pansus DPR-RI sedang membahas RUU Anti Pornografi. . UU yang mengatur pornografi erat kaitannya dengan media massa. Hal itu sesuai dengan definisi terminologis pornografi itu sendiri, yakni diseminasi gambar yang melanggar kaidah-kaidah kesusilaan atau kaidah-kaidah agama , Keberadaan RUU Anti Pornografi tentu dapat pula dikaitkan dengan kejahatan seks yang banyak terjadi belakangan ini . Artinya, keberadaan UU Anti Pornografi mengisyaratkan kemungkinan adanya dampak media massa terhadap perilaku orang-orang (misalnya para penonton TV) yang terlibat dalam kejahatan seperti itu. Dari sudut pandang metodologi penelitian efek media rentu saja hal itu masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu dibuktikan (adanya korelasi positif). .

Adalah Wapres Hamzah Has yang menyatakan, siaran TV banyak menyebarkan pornografi. Hal itu dinyatakan oleh Wapres ketika beliau menjadi khatib shalat Jumat di Mesjid Istiqamah di Jl.Raya Ceger, Jakarta Timur, 5 Juli 2003. Juga do’a penutupan ST-MPR 7 Agustus 2003 berisi keprihatinan yang mendalam tentang meluasnya pornografi di media massa. Adalah pula Menteri Agama Said Agil yang meminta kepada para pengelola TV untuk meniadakan siaran – siaran yang berbau pornografi. Himbauan itu diutarakan Menag dalam pidato menyambut Idul fitri 1424 Hijriah. Prakarsa Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) tentang perlunya dibuat UU Anti Pornografi dilatar belakangi kenyataan kian meluasnya pornografi di media massa belakangan ini , meskipun tak semua media massa melakukan hal itu.

Dewasa ini seolah - olah terjadi “perang” yang sengit antara kekuasaan hukum dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi khususnya di bidang internet atau

dunia maya ( cyberspace ). Kemajuan teknologi yang luar biasa telah menciptakan komunikasi dunia maya ( cybercommunication ) yang sangat bebas , yang oleh Henry Perritt dijuluki sebagai sebuah jalan raya yang tak bertepi dan tak berujung ( information superhigh way ). Kebebasan jaringan internet ( dunia maya ) ini bukan lagi

hanya masalah HAM dan hukum, karena kalau hanya soal HAM maka itu bisa dibatasi dengan tindakan regulasi. Tetapi kebebasan internet hanya bisa dikontrol dengan

alat elektronik pula. Itu berarti, hukum hanya bisa “mengekor” pada teknologi dalam upaya mengontrol kebebasan dunia maya itu. Hukum tak mampu melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya ( cybercrime ) termasuk pornografi tanpa bantuan teknologi. Baik UU Penyiaran maupun UU Pers dan KUH - Pidana ( pasal 282, 532 dan 533 ) tak akan bisa berbuat banyak dalam melawan pornografi di internet. Secara hukum

pornografi di internet melanggar pasal - pasal KUH - Pidana tersebut, tetapi Hukum Acara Pidananya ( KUHAP ) sulit diterapkan untuk melacak pembuat pornografi di

internet tanpa bantuan teknologi.

Di dalam UU Penyiaran dan UU Pers sebenarnya ada ketentuan yang melarang lembaga penyiaran dan pers menyebarkan isi siaran, berita dan opini yang melanggar norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Masing - masing pasal 36 ayat 6 dan pasal 5 ayat 1. Sanksi pidananya bagi TV 5 tahun penjara atau denda 10 milyar rupiah dan bagi radio juga 5 tahun penjara atau denda 1 milyar rupiah ( pasal 57 ). Sedangkan menurut pasal 5 ayat 1 UU Pers dilarang memberitakan pendapat dan opini ( apa bedanya pendapat dengan opini ? ) yang tidak menghormati norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Sanksinya adalah denda sebanyak lima ratus juta rupiah saja tanpa hukuman badan walaupun pers itu tak mau bayar denda, ( pasal 18 ). Ini menarik. Opini yang membela pornografi tidak boleh diberitakan karena

opini itu tidak menghormati norma - norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Misalnya ada pendapat, bahwa tarian – tarian yang erotis yang dibawakan oleh

perempuan dengan pakaian yang sangat minimum adalah kebebasan berekspresi dan merupakan HAM. Opini yang dimaksud oleh pasal 5 ayat 1 UU Pers dapat merupakan

opini media massa itu sendiri, dapat pula merupakan opini sumber berita. Jika hal terakhir itu terjadi, maka terjadi pula pelanggaran terhadap pasal 5 ayat 1 UU Pers yunto

pasal 55 – 56 KUH - Pidana. yaitu penyertaan dalam perbuatan pidana ( deelneming ). Mungkin pers yang terkait dapat dituduh memberikan kemudahan atau bantuan kepada sumber berita dalam menyebarkan opininya ( medeplichtige ). Hal itu diatur di dalam pasal 56 KUH – Pidana

Tidak ada komentar: